REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING- Jumat (10/3/2023) kemarin menjadi salah satu sejarah dalam hubungan Iran dan Arab Saudi. Keduanya sepakat memulihkan kembali hubungan diplomatik. Cina sebagai mediator, dianggap para pengamat mengubah tatanan dunia.
Dan tentu, akurnya kembali dua rival, Iran-Saudi berdampak pada negara-negara yang punya kaitan dengan mereka. Sejak 2016, dua negara memutuskan hubungan. Melalui kesepakatan Jumat, dalam kurun dua bulan kedubes dua negara akan saling dibuka.
Media Iran mempublikasikan foto dan video Ali Shamkhani, sekretaris Dewan Keamanan Nasional Iran yang berjabat tangan dengan Penasihat Keamanan Nasional Saudi Musaad bin Mohammed al-Aiban dan diplomat senior Cina, Wang Yi.
Sebelumnya, tak ada gembar-gembor soal Cina yang memediasi buruknya hubungan dua negara berpengaruh di kawasan itu. Hingga akhirnya, pada Jumat muncul komunike bersama Iran-Saudi sepakat untuk akur kembali.
Wang menyatakan, Cina bakal terus berperan secara konstruktif dalam menangani isu-isu panas semacam ini. ‘’Sebagai mediator yang dipercaya dan diandalkan, Cina telah menuntaskan tugasnya sebagai tuan rumah,’’ katanya seperti dilansir Aljazirah, Sabtu (11/3/2023).
Sebenarnya, sejak 2021, pejabat Iran dan Saudi menggelar pembicaraan di Irak dan Oman tetapi tak membuahkan hasil. Robert Mogielnicki, senior resident scholar di Arab Gulf State Institute, Washington, mengatakan kesepakatan di Beijing bukti lebih besarnya pengaruh Cina.
Dalam konteks ini, Cina terlihat memiliki kepentingan lebih besar di kawasan. ‘’Hubungan AS dengan Iran buruk, maka Cina dalam posisi strategis untuk memediasi kesepakatan,’’ ujarnya seperti dikutip Aljazirah.
Menurut Mogielnicki, bagi Cina ini tindakan berisiko rendah tetapi dengan hasil atau reward bernilai tinggi. Sebab, Cina tak ‘berkepentingan’ mendorong agar pertemuan Iran-Saudi menghasilkan keputusan tertentu.
Hubungan lebih baik antara dua negara, jelas dia, akan mengurangi potensi konflik regional. ‘’Itu bagus bagi Cina, AS, dan negara di kawasan,’’ katanya.
Sina Toossi, non-resident senior fellow di the Center for International Policy, Washington, menyatakan, Cina memiliki kepentingan yang jelas atas stabilitas di wilayah Timur Tengah. Alasannya, Teluk merupakan sumber energi bagi Cina. Negara ini mengimpornya dari Iran dan Saudi.
Terbukti, pada 2019 saat sejumlah fasilitas minyak Saudi diserang kelompok Houthi yang didukung Iran, berdampak pada produksi minyak Saudi. Lalu, mendongkrak harga minyak dunia lebih dari 14 persen. Lonjakan terbesar dalam beberapa dekade.
‘’Konflik di Teluk Persia bisa berdampak pada pasokan energi dan kepentingan ekonomi Cina,’’ ungkap Toossi.
Negara terdampak
Ada sejumlah negara akan terkena pengaruh dari rekonsiliasi diplomatik antara Iran dan Saudi. Yaman, misalnya, menyusul kesepakatan pada Jumat, kemungkinan Iran-Saudi yang selama ini terlibat, akan mempercepat upaya menyelesaikan konflik Yaman.
Di Lebanon, kekuatan Iran dan Saudi juga saling bersaing. Iran mendukung kekuatan syiah, Hizbullah dan Saudi menyokong politisi Suni. Maka, perdamaian yang tercipta di Beijing kelak membuat dua negara ini mendorong rekonsiliasi politik di Lebanon.
Sementara, kondisi saat ini bisa saja menyulitkan Israel yang ingin menormalisasi hubungan diplomatik dengan Saudi. Israel bisa merasa terisolasi jika melakukan aksi militer terhadap Iran dan menyoal program nuklir Iran. Sebab biasanya Saudi berlaku seperti Israel, mempersoalkan program nuklir Iran.
Di sisi lain, AS menyatakan akan memantau pascakesepakatan Iran-Saudi. Mereka skeptis Iran mematuhi poin-poin yang dicapai di Beijing tersebut.