REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kabar mengejutkan dari Timur Tengah ketika dua negara yang selama ini bermusuhan, Iran dan Arab Saudi, pada 10 Maret 2023 sepakat menormalisasi kembali hubungan diplomatiknya setelah hampir tujuh tahun bersitegang.
Ditengahi Cina dalam sebuah pembicaraan di Beijing, kedua negara akan saling membuka kedutaan besarnya kembali dua bulan ke depan.
Pembicaraan normalisasi hubungan ini sudah dimulai sejak dua tahun lalu di Irak, tapi sempat terhenti karena Pemilu Irak pada 2021.
Para pejabat kedua negara lalu melanjutkan bertemu di Oman, terutama membahas situasi di Yaman, di mana kedua negara berkonflik untuk menjadi pendukung dua kubu di sana.
Normalisasi hubungan Arab Saudi-Iran menohok kekuatan-kekuatan besar yang selama ini menjadi pemain utama di Timur Tengah, khususnya Amerika Serikat dan Israel, terlebih kesepakatan itu dicapai di Cina yang justru sedang berseteru dengan Amerika Serikat di hampir semua medan politik global.
Ini ‘kudeta diplomatic” Cina terhadap Amerika Serikat dan Barat yang memandang kawasan ini sebagai pelataran politiknya.
Iran dan Arab Saudi memilih Cina bukan saja dianggap netral, tetapi juga hubungan ekonomi kedua negara dengan Cina yang kian rapat.
Memilih Beijing juga melukiskan adanya pergeseran orientasi hubungan luar negeri Iran dan Arab Saudi yang lebih ‘menengok ke timur’, ke Asia, khususnya Cina, yang menjadi pasar ekonomi terbesar di dunia.
Dalam konteks misalnya, di mata Arab Saudi, Cina memiliki kemampuan yang tak bisa dimiliki Amerika Serikat, yakni membeli minyak mentah Arab Saudi 2 juta barel per hari yang tak bisa dilakukan Amerika Serikat.
Yang paling menarik dari perkembangan ini adalah keinginan Riyadh dan Teheran dalam menormalisasi hubungan setelah berseteru keras dalam banyak hal.
Sejak Revolusi Islam Iran pada 1979, hubungan kedua negara terus bergolak, kendati ada masa-masa singkat mereka membangun hubungan yang lebih konstruktif.
Di samping Mesir, Israel, dan Turki, kedua negara berlomba menjadi pemimpin Timur Tengah. Bersama Turki, kedua negara bersaing menjadi pemimpin dunia Islam.
Persaingan mereka lebih merupakan pertarungan ideologis antara Syiah dan Sunni yang tak pernah padam sejak berabad-abad silam.
Itu semua tercermin dalam konflik-konflik sektarian di Lebanon dan banyak tempat lainnya, termasuk Pakistan.
Baca juga: Muhammadiyah Resmi Beli Gereja di Spanyol yang Juga Bekas Masjid Era Abbasiyah
Terlebih di Suriah, Irak dan Yaman yang berbatasan langsung dengan Arab Saudi. Irak juga berbatasan langsung dengan Iran.
'Saudi First'
Di Lebanon, Iran menyokong gerakan Hizbullah yang Syiah, sedangkan Arab Saudi menjadi promotor faksi Sunni dalam peta politik Lebanon yang memang amat beragam.
Di Suriah, Iran menjadi pendukung setia Bashar al Assad yang Syiah Alawiyah, sementara Saudi menyokong oposisi Sunni, hingga meletuskan perang saudara yang sampai kini belum tuntas. Perang saudara ini juga melibatkan faksi, termasuk Kurdi dan kelompok ekstremis Negara Islam (ISIS).