Ahad 12 Mar 2023 18:04 WIB
Bahaya Minuman Manis

Dokter: Jangan Cekoki Anak dengan Gula Sejak Kecil

Ketika bayi melepeh makanannya, ibu kerap mengira makanannya tidak enak.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Reiny Dwinanda
Setelah 6 bulan bayi perlu diberi makanan tambahan pendamping ASI. Ketika anak melepeh makanannya, jangan buru-buru berpikir bahwa itu karena rasanya tidak enak. Bisa jadi teksturnya sulit dicerna.
Foto: flickr
Setelah 6 bulan bayi perlu diberi makanan tambahan pendamping ASI. Ketika anak melepeh makanannya, jangan buru-buru berpikir bahwa itu karena rasanya tidak enak. Bisa jadi teksturnya sulit dicerna.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika anak sudah mulai mengonsumsi makanan pendamping Air Susu Ibu (MPASI), ada kalanya orang tua jika buah hatinya tidak mau makan. Dalam kegalauannya, mereka mengira makanan yang dimasak sendiri tidak enak.

Sebagian dari mereka kemudian menambahkan gula dan garam dalam ke masakannya. Trik tersebut ditentang oleh dokter ahli gizi Tan Shot Yen.

Baca Juga

Dr Tan mengungkapkan anak mulai belajar makan setelah masa pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan selesai. Pemberian ASI diteruskan sampai anak berusia dua tahun atau lebih.

Persoalannya, menurut dr Tan, banyak ibu yang tidak dapat pendampingan menyusui oleh konsultan laktasi. Alhasil, mereka panik ketika kenaikan berat badan bayinya tersendat di usia empat bulan.

Di tengah kekhawatiran stunting, tenaga kesehatan atau kader posyandu kemudian menganjurkan agar bayi tersebut mendapatkan susu formula. Padahal, menurut dr Tan, bayi banyak yang menjadi kegemukan atau obesitas karena asupan susu formula yang mengandung tinggi sukrosa.

"Berdasarkan penelitian, lebih dari 90 persen susu yang beredar di Indonesia ada gula imbuhan atau tambahan," ungkap dr Tan dalam "Talkshow: The Hidden Crisis of Obesity", di Jakarta, Sabtu (4/3/2023).

Selain itu, ibu juga kerap kali menambahkan gula pada MPASI. Ketika anak membuang makanan dari mulutnya, mereka berpikir makanan yang dibuatnya tidak enak. Padahal, hal itu bisa saja karena tekstur makanan yang sulit dicerna, bukan hanya sekadar rasa.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement