REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lelaki ini merupakan salah satu dari para ulama ahli fikih yang tujuh di Madinah. Dia termasuk dalam jajaran Kubbarut Tabiin (tabi’in senior), dia meriwayatkan dari para sahabat yang mulia.
Dikutip dari buku Kisah Para Tabiin oleh Syaikh Abdul Mun'im Al-Hasyimi, Sa’id bin Al-Musayyab ini salah satu dari ketujuh ahli fikih yang hidup di Madinah, mereka semua menyatukan antara kecermatan periwayatan dan kebenarannya.
Sa’id bin Al-Musayyab diunggulkan dengan kecakapannya yang luar biasa dalam bidang takhrij hadits dan pemberian fatwa berdasarkan logika (ra’yu). Dia juga terkenal dengan keberaniannya dalam memberikan fatwa. Bahkan sebagian orang yang hidup se-zaman dengannya mengatakan, “Aku pernah melihat seorang laki-laki pada zaman itu, dia datang untuk bertanya tentang suatu perkara, lalu orang-orang melemparkannya dari satu majelis ke majelis yang lainnya sehingga dia terlempar ke majelis Sa’id bin Al-Musayyab karena ketidaksenangan mereka untuk memberikan fatwa, dan mereka memanggilnya dengan sebutan Sa’id bin Al-Musayyab Al-Jari’ (yang pemberani).” (A'lmul Mauqi’in)
Sa’id bin Al-Musayyab adalah salah satu ahli fikih ra’yu yang menjadi unggulan kota Madinah pada zamannya. Murid-muridnya pun telah berhasil menyampaikan ilmu kepada para imam ahli ijtihad dalam Islam, seperti Imam Malik bin Anas rahimahullah.
Beliau muncul sebagai salah satu dari para ahli fikih yang tujuh pada masa Daulah Bani Umayyah ketika Madinah menjadi negeri yang aman bagi setiap ulama. Setiap orang yang tinggal di dalamnya maka amanlah dirinya, ilmunya, hartanya, dan juga harga dirinya. Oleh karenanya, ilmu dan fikih dapat berkembang.
Sa'id bin Al-Musayyab pun memiliki peran penting dalam menjaga validitas periwayatan, selamatnya penyampaian, dan kecermatan dalam pemberian fatwa. Dia adalah pemilik ra’yu yang senantiasa mendengarkan, meneliti, dan membolak-balikkan berbagai perkara pada semua sisinya.
Dia tidak merasa takut dalam kebenaran akan kecaman orang-orang yang suka mencela, karena dia adalah seorang mufti (pemberi fatwa) yang pemberani. Keberaniannya itu bukanlah sekadar semangat dan gelora dari seorang ahli ilmu yang tertipu, akan tetapi ia adalah keberanian orang yang bersemangat dalam agamanya.