REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengajukan dua rancangan peraturan daerah (raperda), yaitu Raperda tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik dan Raperda tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI pada Senin (13/3/2023).
"Terkait pengelolaan air limbah domestik, raperda disusun secara menyeluruh dan komprehensif untuk mengendalikan pencemaran sumber daya air dan tanah yang akan berdampak pada peningkatan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan," kata Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono dalam rapat paripurna di gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Senin (13/3/2023).
Dia menjelaskan, evaluasi terhadap kualitas air tanah di Ibu Kota juga dilakukan untuk menganalisis indikasi sumber pencemaran. Hasilnya, ditemukan lima parameter dominan yaitu pH, mangan, detergen, total coliform, dan bakteri koli yang merupakan hasil kegiatan limbah domestik rumah tangga.
Selain itu, masih adanya warga Jakarta buang air besar sembarangan (BABS) di angka 5,6 persen dan kurangnya akses sanitasi aman. Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, yaitu jumlah penduduk Jakarta mencapai 10,64 juta jiwa maka mereka yang masih BAB sembarangan berjumlah sekitar 595 ribu warga.
Baca: Pemprov Beli Mobil Dinas Jeep, Pj Heru: Saya Gak Pakai, Enakan Kijang!
Masih banyaknya warga BAB sembarangan berdampak pada peningkatan pencemaran sumber daya air dan tanah. Kemudian, kerusakan lingkungan yang juga dapat memperparah penularan penyakit melalui air (waterborne disease) turut memicu pencemaran air tanah.
Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kata Heru, pengelolaan dan pengembangan sistem air limbah domestik merupakan bagian dari urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar bidang pekerjaan umum dan penataan ruang, sehingga perlu dilaksanakan secara sinergi, berkelanjutan dan profesional.
"Perda Pengelolaan Air Limbah Domestik di DKI Jakarta dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum karena belum ada Perda yang mengatur mengenai pengelolaan Air Limbah Domestik. Selain itu, Peraturan Kepala Daerah terkait Air Limbah Domestik sudah tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta belum cukup untuk menjadi instrumen atau alat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan pengelolaan air limbah domestik," kata Heru.
Kemudian, terkait Raperda tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) DKI Jakarta yang disusun sebagai pelaksanaan amanah dari Undang Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi Pasal 18, bahwa Pemerintah Daerah menyusun RUED dengan mengacu pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan bahwa RUED ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
"Saya perlu sampaikan bahwa saat ini, DKI Jakarta merupakan empat provinsi terakhir yang belum memiliki Perda RUED," kata Heru.
Menurut dia, RUED DKI Jakarta merupakan rujukan dalam penyusunan dokumen perencanaan pembangunan daerah, penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD), Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) serta penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan pelaksanaannya.
RUED juga berfungsi sebagai pedoman bagi organisasi perangkat daerah dalam menyusun dokumen rencana strategis, serta melaksanakan koordinasi perencanaan, dan pembangunan energi lintas sektor, serta partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah bidang energi.
"DKI Jakarta memiliki kebutuhan energi (demand) yang tinggi mengingat kegiatan ekonomi nasional masih terkonsentrasi di Jakarta. Untuk itu diperlukan penyediaan energi (supply) yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Sementara sumber energi (resources) yang dimiliki DKI Jakarta terbatas," kata Heru.
Dia menyampaikan, diperlukan rencana kebijakan pengelolaan energi daerah jangka panjang dan berwawasan lingkungan yang selaras dengan target Kebijakan Energi Nasional. "Penyediaan energi fosil secara masif mulai dikurangi dan energi terbarukan sebagai alternatif terus dikembangkan. Perubahan paradigma ini juga termasuk pemanfaatan energi sebagai modal pembangunan, bukan lagi sebagai komoditas," kata Heru.