REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Menteri Pertahanan Australia Richard Marles membela kesepakatan untuk membeli kapal selam serang bertenaga nuklir dari Amerika Serikat (AS). Keputusan ini dinilai diperlukan untuk melawan penumpukan militer terbesar di kawasan itu sejak Perang Dunia II.
“Anda tahu, kekhawatiran kami tentang penumpukan militer lainnya adalah bahwa hal itu terjadi dengan cara yang tidak jelas, dan di mana tetangga merasa tidak nyaman mengapa hal itu terjadi,” kata Marles.
“Itulah mengapa kami melakukan upaya sedemikian rupa untuk menjelaskan dengan tepat mengapa kami mengambil langkah-langkah yang kami ambil," ujarnya pada Selasa (14/3/2023)
Marles mengatakan Australia perlu menanggapi pembangunan militer di Pasifik. “Kegagalan untuk melakukannya akan membuat kita dikutuk oleh sejarah,” katanya.
Marles mengatakan Australia bermaksud untuk meningkatkan kemampuan militer dan membelanjakan lebih banyak untuk pertahanan di masa depan.
Menurut Marles, Australia telah melakukan upaya diplomatik besar-besaran selama berbulan-bulan menjelang pengumuman kesepakatan pada Senin (13/2/2023). Mereka melakukan lebih dari 60 panggilan telepon ke para pemimpin regional dan dunia.
Australia bahkan telah menawarkan untuk menjaga Cina tetap dalam lingkaran. “Kami menawarkan briefing. Saya belum ikut briefing dengan Cina,” kata Marles.
Ditanya oleh wartawan apakah Cina telah menolak pengarahan atau menanggapi sama sekali, Marles menjawab: "Saya tidak mengetahui tanggapan itu."
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengumumkan kesepakatan pembelian tiga hingga kapal bertenaga nuklir Virginia oleh Australia. Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengatakan, perjanjian itu mewakili investasi tunggal terbesar dalam kemampuan pertahanan Australia sepanjang sejarah kita.
Australia memperkirakan kesepakatan itu akan menelan biaya antara 268 miliar dan 368 miliar dolar Australia. Pejabat Australia mengatakan, kesepakatan itu akan menciptakan 20 ribu pekerjaan.