REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perkembangan fast fashion yang marak belakangan ini menjadi salah satu penyebab terbesar pada limbah fashion yang meningkat. Menurut data dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTD) 2019, mode menjadi industri paling berpolusi nomor dua di dunia.
Menanggapi ini, Co-founder dan COO Tinkerlust, Aliya Amitra, mengatakan memang fast fashion berkembang pesat di Indonesia. Namun, perkembangan tersebut tidak diiringi oleh pemahaman akan dampaknya.
“Fashion adalah penyumbang limbah kedua di dunia. Di Indonesia sendiri fast fashion sangat berkembang. Melihat masalah ini, pada tahun ketiga Tinkerlust, kami mulai mengajak para desainer dan komunitas untuk mengatasinya,” kata Aliya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Bersama dengan para desainer dan sejumlah komunitas, Tinkerlust membangun keberlanjutan industri mode dengan mengerjakan upcycling fashion, yaitu mendaur ulang produk fashion menjadi produk baru. “Jadi barang-barang yang sudah tidak digunakan atau tidak terjual kami upcycle atau dibuat desain baru oleh para desainer dan dijadikan barang fashion baru,” ujar dia.
Solusi yang dilakukan oleh Aliya sejalan dengan perkembangan pasar barang bekas. Menurut dia, barang bekas layak pakai tumbuh sangat cepat, terutama pada generasi muda.
“Model thrifting sudah ada di mana pun, berbeda saat Tinkerlust baru muncul. Mereka lebih aware khususnya luxury brand sudah mulai menerapkan recycle. Jadi, aku melihatnya pertumbuhan di Indonesia luar biasa,” ucap dia.
Pada tahun ini, Tinkerlust, sebagai lokapasar jual beli produk mode bekas yang mewah untuk pria dan wanita di Indonesia, merilis aplikasi mobile pertama. Peluncuran ini diharapkan dapat memberikan lebih banyak kemudahan dan kenyaman bagi penjual dan pembeli di Tinkerlust.
Beberapa fitur yang disediakan adalah Fast Access, Fast Filtering, Chat With Seller. Bahkan, penjual bisa langsung melakukan penjualan lewat fitur Snap, Upload & Sell.