REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, memiliki hubungan yang baik dengan Palestina. Bantuan kemanusian terutama dari lembaga Islam di tanah air mengucur deras, apalagi jika Palestina mendapat serangan dari Israel yang dianggap sebagai penjajah.
Posisi politik Indonesia pun dengan Israel tegas, tidak ada hubungan diplomatik. Sehingga tak ada kedutaan besar Israel di Indonesia. Selain itu dalam konstitusi juga jelas melarang pengibaran bendera Israel berikut menyanyikan lagu kebangsaannya.
Kondisi politik tersebut ternyata berpengaruh terhadap dunia olahraga. Walaupun seharusnya olahraga yang menjunjung jiwa sportivitas harus dipisahkan dengan permasalahan politik yang sering dikonotasikan menghalalkan segara cara, demi mencapai tujuan.
Sehingga, saat Indonesia menjadi tuan rumah sebuah event olahraga, maka dipastikan akan ada persoalan pelik jika salah satu pesertanya berasal dari Israel. Ini pula yang dihadapi Panitia Pelaksana Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis tahun 2015 lalu. Saat itu ada satu pemain Israel bernama Misha Zilberman yang ambil bagian.
Achmad Budiharto, yang saat itu menjadi Wakil Ketua Panitia Pelaksana Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2015, ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (15/3/2023), mengaku dibuat sakit kepala dengan ikut berpartisipasinya pemain tunggal putra asal Israel tersebut.
"Bikin sakit kepala kehadiran atlet Israel. Sebagai tuan rumah, kita hanya bertugas menggelar acara sebaik mungkin. Keputusan adanya pemain asal Israel yang ikut kejuaraan dunia itu ada di federasi internasional dalam hal ini Badminton World Federation (BWF)," ujar Budiharto.
Pria yang pernah menjabat Sekjen PBSI ini mengungkapkan, panpel waktu itu melakukan pendekatan dengan BWF agar membatalkan pemain asal Israel untuk bermain di Kejuaraan Dunia Bulu tangkis 2015.
"Namun BWF menolak. Justru BWF akan membatalkan kita sebagai tuan rumah jika pemain Israel dicoret. Kewenangan peserta ada di BWF," kata Budiharto.
"Setelah gagal melobi BWF, kami kemudian menjalin kerja sama dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan juga Kementerian Luar Negeri (Kemlu). Pembuatan Visa dibantu Kemlu, karena kita tidak ada Kedutaan Israel, maka yang mengeluarkan Visa adalah Kedutaan Israel di Singapuram" jelas Budiharto.
Budiharto mengatakan, penolakan sempat ada dari beberapa organisasi Islam. Namun karena hanya satu pemain dan didampingi satu pelatih, resistensi tak begitu kuat.
"Setelah beres urusan visa, tugas kita adalah memberikan pelayanan dan pengamanan terhadap peserta. Untuk pemain Israel ini ada perlakuan khusus. Pengamanan yang resmi melekat dengan seragam polisi dua orang, ditambah yang pakaian preman bisa 3-4 orang pengamanan. Sejak mulai datang di bandara hingga pulang dari bandara," imbuhnya.
Kamar hotel, menurut Budiharto, juga berbeda dengan atlet lainnya. "Kita tempatkan di Hotel Sultan kelas Eksekutif. Di kamar hotel dijaga, jalan keluar kamar juga ada penjagaan hingga menuju tempat pertandingan di Istora Senayan Jakarta."
"Untung atlet Israel langsung kalah di babak pertama. Kita langsung minta dia segera pulang. Namun mereka minta perpanjang satu hari lagi. Kita bilang risiko tanggung sendiri. Namun sebagai tuan rumah tetap kita kawal, sampai keluar dari Indonesia dengan aman dan selamat," kata Budiharto.