REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakta kerja sama antara Australia, Inggris dan Amerika Serikat (AS), AUKUS, kembali menarik perhatian beberapa hari lalu. Momen ini beberapa pekan setelah Presiden Rusia Vladimir Putin menangguhkan perjanjian New Strategic Arms Reduction Treaty (New START) yang terjalin dengan Amerika Serikat (AS).
AUKUS merupakan pakta keamanan trilateral yang didirikan pada 15 September 2021 antara tiga negara yang menjadi singkatan nama tersebut. Dalam kesepakatan ini, AS dan Inggris akan membantu Australia mengembangkan dan pengadaan kapal-kapal selam bertenaga nuklir.
Nama aliansi ini kembali ke permukaan usai pertemuan tiga kepala negara di San Diego AS pada Senin (13/3/2023). Presiden AS Joe Biden mengumumkan rencana pembelian kapal selam nuklir oleh Australia dalam satu dekade ke depan.
Kesepakatan ini memuat pembelian tiga hingga kapal bertenaga nuklir Virginia oleh Australia. Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengatakan, perjanjian itu mewakili investasi tunggal terbesar dalam kemampuan pertahanan Australia sepanjang sejarah.
Australia memperkirakan kesepakatan itu akan menelan biaya antara 268 miliar dan 368 miliar dolar Australia. Pejabat Australia mengatakan, kesepakatan itu akan menciptakan 20 ribu pekerjaan.
Pengumuman ini pun memunculkan banyak pertentangan dari banyak pihak. Cina berpendapat bahwa kesepakatan AUKUS melanggar Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir. Indonesia pun ikut buka suara dengan memperingatkan Australia agar konsisten memenuhi kewajibannya sesuai rezim non-proliferasi senjata nuklir dan International Atomic Energy Agency (IAEA) Safeguards.
Bahkan sebelum pengumuman awal pekan ini, protes pun telah banyak dilemparkan sejak pertama kali AUKUS terbentuk. Saat itu Prancis marah karena kesepakatan kapal selam senilai 66 miliar dolar AS dengan Australia batal akibat AUKUS. Padahal Canberra telah menandatangani kesepakatan untuk membeli kapal selam bertenaga diesel Paris pada 2016. Kondisi ini pun membuat hubungan Eropa dan AS meregang.
Sedangkan New START atau perjanjian yang memiliki nama resmi //Measures for the Further Reduction and Limitation of Strategic Offensive Arms// adalah perjanjian perlucutan senjata nuklir antara AS dan Rusia. Perjanjian tersebut ditandatangani pada tanggal 8 April 2010 di Praha.
Dalam perjanjian tersebut, AS-Rusia yang membatasi jumlah hulu ledak nuklir yang dapat dimiliki. Masing-masing pihak hanya boleh memiliki 1.550 hulu ledak strategis, turun dari 2.200. Ini membatasi jumlah peluncur strategis dan pengebom berat hingga 700.
Kemudian kedua negara pun memungkinkan untuk memeriksa gudang senjata satu sama lain. Sistem ini sebelumnya telah berakhir pada Desember 2009 dengan berakhirnya kesepakatan senjata sebelumnya.
Tapi, Putin mengumumkan penangguhan perjanjian nuklir tersebut pada 21 Februari 2023. Keputusan ini dilakukan dengan alasan berasal dari kebutuhan untuk memastikan keamanan dan stabilitas strategis untuk Rusia. Rusia dinilai perlu mempertimbangkan kemampuan nuklir alinasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres telah meminta kedua negara untuk menjalankan kembali perjanjian New START. Namun hingga saat ini belum ada kelanjutan apa pun atas penangguhan yang telah berjalan tersebut.