Kamis 16 Mar 2023 08:55 WIB

Belajar dari Jepang, Pendidikan Kebencanaan Perlu Diajarkan Sejak Dini

Perlu diterapkan kurikulum kebencanaan pada siswa-siswi sekolah.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yusuf Assidiq
Sejumlah siswa melindungi kepala mereka menggunakan tas saat simulasi kesiapsiagaan kebencanaan gempa bumi di SMA Negeri 1 Karangdowo, Klaten, Jawa Tengah (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho
Sejumlah siswa melindungi kepala mereka menggunakan tas saat simulasi kesiapsiagaan kebencanaan gempa bumi di SMA Negeri 1 Karangdowo, Klaten, Jawa Tengah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Profesor bidang mitigasi bencana Universitas Brawijaya, Prof Sukir Maryanto, memaparkan pentingnya pendidikan karakter kebencanaan bagi anak usia dini. Sebab, ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mulai dari kecil agar sadar bencana.

Sukir dalam kegiatan Sidang Paripurna Majelis Dewan Guru Besar (MDGB) PTNBH mengungkapkan, pendidikan karakter kebencanaan diadopsinya dari program di Jepang yaitu town dan school watching.

Hal tersebut digunakan untuk meningkatkan kesadaran anak didik mulai dari kecil agar sadar bencana. Ketika sadar bencana dimulai dari pendidikan TK dan SD, hal tersebut akan menjadi budaya.

"Jadi di Jepang sadar bencana sudah jadi budaya anak TK sehingga ketika ada bencana mereka sudah paham apa yang akan mereka lakukan. Ini tidak terlepas dari pendidikan di Jepang yang fokus pada karakter," kata Sukir.

Dengan penanaman pendidikan karakter kebencanaan, akan ada multifungsi dari sekolah. Beberapa di antaranya sebagai pendidikan karakter dan shelter ketika terjadi bencana.

Artinya, ketika mereka mengalami bencana, tempat-tempat penampungan bagi pengungsi adalah di sekolah-sekolah. Sukir pun memberikan saran agar diterapkan kurikulum kebencanaan pada siswa-siswi sekolah.

Dengan kata lain, pendidikan karakter kebencanaan perlu diajarkan sejak usia dini sebagai pengetahuan mitigasi bencana. Hal ini perlu dilakukan apalagi Indonesia sudah memiliki kebijakan zonasi.

"Di dalam kesadaran kebencanaan yang dimodifikasi dalam bentuk school dan town watching, ada kesadaran dari dalam diri masyarakat terkait kebencanaan," kata dia menambahkan.

Menurut dia, lingkup school watching berada di sekolah. Sementara itu, lingkup town watching berada di kota atau desa mereka sendiri.

Hal ini berarti masyarakat yang bisa mengamati potensi bahaya sedangkan ahli bencana pada saat terjadi bencana tidak berada di tempat tersebut. Oleh karena itu, masyarakat yang paham, bisa dan tahu karakternya.

Dengan demikian, mereka dapat mengevakuasi diri ketika ada bencana karena mereka yang menghadapinya sendiri. Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur (Jatim), Nurkholis menjelaskan, hal-hal dalam menghadapi krisis lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam mewujudkan Indonesia emas 2045.

Menurut dia, pemerintah memiliki visi pembangunan yang berkelanjutan secara umum. Salah satunya memastikan pembangunan yang dilakukan tetap memenuhi prinsip ramah lingkungan dan tidak memiliki dampak sosial ekonomi.

Untuk prioritas 2023, pihaknya sejalan dengan tema RKPR pembangunan nasional. Dengan kata lain, Provinsi Jatim ada peningkatan ketahanan bencana dan lingkungan hidup.

"Oleh karena itu, kalau di pusat ada namanya Nawacita, pada Provinsi Jatim ada Nawabhakti Satya yang mana lingkungan hidup itu masuk dalam kategori ke-9 yaitu Jatim Harmoni dengan mewujudkan harmoni sosial, alam dan lingkungan hidup, serta melestarikan kebudayaan dan mengembangkan bidang olahraga. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan pemerintah pusat," katanya.

Menurut dia, Pemprov Jatim secara konsisten mulai 2019-2022 akan terus meningkatkan indeks kualitas lingkungan hidup. Pihaknya juga memiliki perda terkait dengan pengelolaan sampah yang baru saja ditetapkan sebagai komitmen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement