REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kata 'maneh' tengah viral di media sosial karena terkait seorang guru asal Cirebon Sabil Fadhilah yang mengomentari postingan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil tengah zoom bersama siswa SMP 3 Kota Tasikmalaya. Dia dianggap kurang sopan saat menanyakan kegiatan Gubernur Jabar karena menggunakan kata 'maneh'.
Bahkan komentarnya dijadikan komentar utama (pinned) oleh Ridwan Kamil. Pascaperistiwa itu, Sabil dipecat dari tempat mengajarnya di sekolah SMK di Cirebon karena dianggap tidak sopan dan tidak memberikan contoh sebagai seorang pendidik.
"Dalam zoom ini, maneh teh keur (Anda itu lagi) jadi gubernur Jabar atau kader partai, atau pribadi?" tanya Sabil seperti dikutip dari laman instagram Ridwan Kamil.
"Ceuk maneh kumaha (menurut kamu gimana?)," jawab Emil.
Budayawan Sunda sekaligus akademisi Hawe Setiawan menilai, penggunaan kata 'maneh' (kamu) dalam pemakaian bahasa sehari-hari adalah hal yang wajar. Kata 'maneh' sendiri memiliki bandingan dengan kata aing (saya) yang populer saat ini serta memiliki fungsi yaitu sebagai kata ganti orang kedua.
"Dari segi kebahasaan, saya bisa mengatakan bahwa 'maneh' adalah ungkapkan yang wajar dalam pemakaian bahasa Sunda sehari-hari. Bandingan dari kata 'maneh' itu aing, jadi kata 'maneh' fungsinya kata ganti orang kedua di dalam ujaran," ujarnya saat dikonfirmasi, Kamis (16/3/2023).
Dia menuturkan, kata 'maneh' pun memiliki arti lain yaitu diri sendiri. Namun, dalam kontek kata 'maneh' yang digunakan guru asal Cirebon tersebut merupakan kata ganti orang kedua.
Hawe melanjutkan, kata 'maneh' yang dipakai oleh guru kepada pejabat pemerintah merupakan hal yang lumrah. Terlebih, masyarakat harus melihat konteks saat kata tersebut digunakan.
"Soal penggunaan (maneh) saya merasa tidak keberatan, menurut saya lumrah. Orang harus melihat konteksnya berkaitan dengan pemakaian itu. Mungkin pak guru punya keberatan dan protes saya kira hal wajar," katanya.
Terkait keberatan warganet soal pemakaian kata 'maneh' yang dianggap kasar, ia menambahkan kata 'maneh' bagi penutur di wilayah priangan dianggap kasar. Namun, untuk penutur di wilayah Banten yang dekat ke Kanekes kata tersebut belum tentu dianggap kasar.
"Undak unduk (bahasa sunda) diserap dari kebudayaan jawa, pemeringkatan bahasa sunda sedang, lemes, dan kasar bisa dilihat konteksnya. Boleh dong warga memakai sedikit kasar di ruang publik kalau proposional," katanya.