REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam menentukan awal bulan Hijriyah umat Islam menggunakan dua cara, yakni rukyat hilal dan hisab. Baik menggunakan salah satu cara atau keduanya dibolehkan.
Mengutip buku Hisab dan Rukyat tulisan Riza Arfian Mustaqim menjelaskan Rukyat berasal dari kata الرؤية . Kata tersebut memiliki makna pengamatan hilal Ramadhan di awal malam bulan Ramadan.
Sementara itu kata hilal bentuk jamak dari kata أهلة yang berarti bulan yang muncul pada akhir dan awal bulan.
Menurut Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn 'Abd al-Qadir al-Razi, secara etimologi rukyat artinya "melihat", yaitu melihat dengan menggunakan mata (bi al-'aini), atau bisa juga dimaknai melihat dengan ilmu (bi al-'ilmi). Adapun rukyat yang dimaksud di sini merupakan proses mengamati hilal pada akhir bulan Sya'ban atau bulan Ramadhan dalam kapasitas penentuan tanggal 1 Ramadhan atau 1 Syawal.
Rukyat merupakan fenomena mendeteksi hilal untuk penentuan awal dan akhir puasa. Observasi hilal dilakukan pada tiap-tiap akhir bulan dengan metode mengobservasi hilal di ufuk bagian barat di saat terbenamnya matahari.
Hal ini dapat dilakukan dengan pengamatan oleh mata secara langsung maupun mata dengan bantuan peralatan yang mampu mendeteksi benda yang jauh atau kecil. Jika hilal dapat diobservasi dengan kedua metode tersebut dan perukyat yang kesaksiannya dapat diterima oleh hakim, maka senja tersebut merupakan awal dari bulan baru, begitu pula dengan keesokan harinya.
KH Ahmad Ghazalie Masroerie memiliki perspektif yang berbeda mengenai definisi hilal, menurutnya kata ra'a didefinisikan kepada tiga hal. Pertama, Ra'a yang berarti abshara atau ra'a bil fi'li maknanya adalah melihat dengan menggunakan mata telanjang. Dalam konteks ini jika maf'ul bihi (objek) mengimplementasikan sesuatu yang dapat dilihat.