REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional Membasmi Islamofobia (International Day to Combat Islamofobia). Islamofobia dideskripsikan sebagai sebuah ketakutan, prasangka, dan kebencian terhadap umat Islam.
President of Nusantara Foundation, Prof Imam Shamsi Ali, menyebut saat ini ada upaya penggiringan opini terkait Islamofobia. Hal ini disebut sebagai mutos yang dibesar-besarkan, lalu tumbuh seolah menjadi realita.
"Bahkan lebih jahat lagi, kejahatan kepada komunitas Muslim ini berusaha dibalik (twisted), seolah umat Islam sebagai pelaku dari berbagai kekerasan dan kejahatan. Umat Islam oleh media massa umumnya, ditampilkan sebagai pelaku (perpetrators) berbagai kebencian dan kejahatan, bahkan ancaman (threat) kepada orang lain," kata dia dalam pesan yang diterima Republika, Kamis (16/3/2023).
Ia menyebut kondisi ini menjadikan mereka yang benci dan anti Islam akan selalu berusaha menyudutkan Islam dan umat, dengan segala cara yang memungkinkan. Islam dan komunitas Muslim yang sesungguhnya baik, bahkan berkontribusi bagi kebaikan, keamanan dan kemajuan Amerika, dibalik menjadi seolah musuh dan ancaman bagi negara dan bangsa tersebut.
Imam Shamsi Ali pun mencontohkan peristiwa yang terjadi di malam akhir tahun 2022 kemarin. Setidaknya di waktu yang sama ada tiga kasus terjadi di Amerika, yaitu pembacokan dua anggota NYPD di Time Square NYC, penembakan massal di Florida yang menewaskan tiga orang dan penembakan massal di sebuah kota di Georgia yang menewaskan beberapa orang.
"Tapi kenyataannya, hanya pelaku di Time Square yang kebetulan mengaku Muslim agamanya, disebut-sebut di media massa seperti Muslim radical, Islamic extremist, dan lain-lain," ujar dia.
Kenyataan ini pun disebut menyampaikan beberapa fakta tentang Islamofobia di Negeri Paman Sam tersebut. Salah satunya adalah tentang betapa nyatanya Islamofobia dan jika kecenderungan kesalah pahaman dan ketakutan itu mulai berkurang, nantinya akan terjadi lagi peristiwa yang kembali menguatkannya.
The Brookings Institute pada 29 Desember 2022 lalu mengumumkan hasil survey, yang menyimpulkan 78 persen masyarakat Amerika mulai melihat agama Islam dengan pandangan positif. Hal ini nampaknya mendapat reaksi dengan pembacokan polisi di Time Square, yang mana hal itu terjadi saat jutaan mata manusia tertuju ke sana karena perayaan akhir tahun.
"Kedua, Islamofobia itu bukan baru. Secara teologis dan fakta historis, Islamofobia telah menjadi bagian dari perjalanan dakwah Islam. Ayat-Ayat Alquran maupun sejarah para Rasul dan Nabi bukan hal yang baru," ujar Shamsi Ali.
Jika dikaji ulang perjalanan sejarah Islam di dunia Barat, termasuk Amerika, ketakutan yang mengantar kepada kebencian dan permusuhan bersifat historis. Peperangan yang terjadi yang melibatkan dunia Islam, dari Afghanistan, Irak-Iran, Teluk 1 dan 2, hingga ke terbentuknya Taliban yang mengantar kepada peristiwa 9/11 di tahun 2001, semuanya tidak bisa terlepas dari upaya membangun persepsi tentang Islam yang berbahaya.
Selanjutnya, Shamsi Ali menyebut Islamofobia akan menjadi bagian alami dari perjalanan dakwah dan keislaman Umat. Selain diyakini secara teologis dan menjadi fakta historis, kenyataannya memang Islamofobia tidak terhenti hanya karena faktor-faktor sesaat.
Pergantian Presiden Amerika misalnya, dari Donald Trump Ke Biden, disebut tidak menghilangkan Islamofobia. Realita ini yang disampaikan oleh Allah SWT secara tersirat di Surah As-Soff ayat 8, dengan kata “yuriiduuna liyuthfiu nuurallah” (mereka ingin memadamkan cahaya Allah).
"Kata “uuriiduuna” ini dikenal sebagai bentuk “fi’il mudhori’l atau “present/continuous tense”, yang menggambarkan keadaan sekarang dan berkelanjutan ke masa depan," ucap dia.