Kamis 16 Mar 2023 22:49 WIB

Arab Saudi Bawa Persaingan AS dan Cina ke Timur Tengah

Riyadh memberi peran tidak biasa pada Cina dalam politik Timur Tengah.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nidia Zuraya
Bendera Cina-Amerika
Foto: washingtonote
Bendera Cina-Amerika

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Beberapa hari setelah memulihkan hubungan dengan Iran dalam perundingan yang difasilitasi Cina di Beijing, Arab Saudi mengumumkan kontrak pembelian pesawat komersial dari perusahaan Amerika Serikat (AS) Boeing. Dua pengumuman ini memicu spekulasi Arab Saudi sedang menunjukkan kekuatan ekonomi dan geopolitiknya.

Arab Saudi seakan bergerak dengan bebas mempermainkan Cina dan AS. Riyadh memberi peran tidak biasa pada Cina dalam politik Timur Tengah. Kontrak dengan Boeing juga memicu pertanyaan apakah hubungan Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi yang mendingin selama dua tahun pemerintahan Joe Biden sudah mulai menghangat.

Baca Juga

Namun pemerintah Biden menolak gagasan perkembangan saat ini menandakan perubahan dinamika persaingan AS dan Cina di Timur Tengah. Gedung Putih membantah pendapat yang mengatakan pembelian pesawat Boeing menandakan perubahan status hubungan Washington dengan Riyadh.

Di awal masa pemerintahannya Joe Biden mengkritik keras catatan hak asasi manusia Arab Saudi. Presiden AS itu juga mengkritik langkah kartel minyak yang dipimpin Arab Saudi, OPEC+ memangkas produksi tahun lalu.

"Di sini kami menantikan untuk mencoba memastikan strategi kemitraan benar-benar mendukung kepentingan nasional kami dalam berbagai cara baik di kawasan maupun di seluruh dunia," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby mengenai hubungan Arab Saudi-AS, Rabu (15/3/2023).

Pekan lalu Boeing mengumumkan Arab Saudi membeli 121 pesawatnya. Keterlibatan Cina dalam memulihkan hubungan diplomasi Arab Saudi-Iran dan kontrak besar Boeing menambah kerumitan baru dalam hubungan Biden dengan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman.

Sebelum menjadi presiden dalam kampanyenya Biden berjanji penguasa Arab Saudi akan "membayar" pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di Turki. Setelah OPEC+ memutuskan memangkas produksi minyak pada Oktober lalu Biden kembali berjanji blok produsen minyak itu akan menerima "konsekuensi" dalam langkah yang menurut Washington membantu Rusia.

Kini tampaknya Washington dan Riyadh ingin melangkah maju dan Cina hendak memperkuat pengaruh di Timur Tengah. Gedung Putih mengatakan AS terus mendapat informasi mengenai perundingan Iran dan Arab Saudi yang dimulai sejak dua tahun yang lalu.

Kemajuan terbesar tercapai dalam beberapa perundingan awal yang digelar di Irak dan Oman. Sebelum keputusan terakhir diumumkan di Cina pekan lalu di Kongres Rakyat Nasional, Beijing. Tidak seperti Cina, AS tidak memiliki hubungan diplomasi dengan Iran dan tidak terlibat dalam perundingan tersebut.

Selama puluhan tahun hubungan Iran dan Arab Saudi selalu dalam ketegangan, dibayangi perpecahan sektarian dan perebutan pengaruh di kawasan. Hubungan diplomatik semakin buruk setelah Arab Saudi mengeksekusi ulama syiah Nimr al-Nimr pada 2016 lalu.

Pengunjuk rasa di Teheran menyerbu masuk Kedutaan Besar Arab Saudi. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei bersumpah akan "membalas dendam ilahi" eksekusi al-Nimr.

Pada awal pekan ini penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan Cina "berlayar ke arah yang sama" dalam upaya meredakan ketegangan antara negara-negara Arab yang bertikai dalam perang proksi di Yaman, Suriah, Lebanon dan Irak.

"Sejauh ini kami pikir ini sesuatu yang positif karena mempromosikan apa yang telah Amerika Serikat promosikan di kawasan, yaitu de-eskalasi, pengurangan ketegangan," kata Sullivan.

Namun pejabat-pejabat Gedung Putih ragu dengan kemampuan dan keinginan Cina untuk berperan menyelesaikan krisis tersulit di kawasan. Termasuk perang proksi berkepanjangan di Yaman.

Pada 2014 lalu gerakan Houthi yang didukung Iran menduduki Ibukota Sanaa dan menggulingkan pemerintahan yang diakui masyarakat internasional. Koalisi yang dipimpin Arab Saudi yang dibantu senjata dan intelijen AS mengintervensi Yaman untuk mengembalikan pemerintahan yang diakui internasional.

 

Perang yang tak kunjung berakhir di Yaman memicu krisis kemanusian dan mendorong negara termiskin di Arab itu kejurang kelaparan. The Armed Conflict Location & Event Data Project mencatat lebih dari 150 ribu orang tewas dalam perang tersebut, sekitar 14.500 diantaranya warga sipil.

 

Gencatan senjata terlama perang Yaman yang berlangsung selama enam bulan sudah berakhir sejak Oktober lalu. Tapi meraih perdamaian permanen merupakan prioritas utama pemerintah-pemerintah Timur Tengah.

Departemen Luar Negeri AS mengatakan Utusan khusus AS untuk Yaman Tim Lenderking berkunjung ke Arab Saudi dan Oman pekan ini. Ia mencoba membangun gencatan senjata yang dimediasi PBB yang telah membawa ketegangan di Yaman selama beberapa bulan terakhir.

Salah satu pejabat senior pemerintah AS yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan Beijing masuk dalam perundingan Arab Saudi-Iran saat sudah tinggal menerima hasilnya. Pengumuman pemulihan hubungan Riyadh-Teheran bertepatan saat Presiden Xi Jinping memulai masa jabatan ketiganya.

Pejabat itu menambahkan pemerintah AS menyambut baik bila Cina dapat berperan mengakhiri perang di Yaman. Tapi baik pejabat Gedung Putih dan Arab Saudi masih sangat ragu Iran berniat mengakhiri perang Yaman atau bertindak lebih jauh sebagai kekuatan stabilitas di kawasan.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement