REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Jajak pendapat menunjukkan sebagian besar masyarakat Korea Selatan (Korsel) menolak rencana pemerintah membayar kompensasi kerja paksa masa penjajahan Jepang. Ini merupakan langkah Perdana Menteri Yoon Suk Yeol untuk memperbaiki hubungan dengan bekas penjajah.
Hasil survei Gallup Korea pada Kamis (16/3/2023) menunjukkan sekitar 59 persen responden menolak rencana tersebut karena lemahnya permintaan maaf dan sedikitnya kompensasi dari Jepang. Sekitar 64 persen menilai usulan kompensasi Yoon tidak cukup.
Jajak pendapat mengungkapkan 64 persen responden mengatakan Korsel tidak perlu terburu-buru memperbaiki hubungan dengan Jepang bila perilaku Tokyo tidak berubah. Pengamat mengatakan penolakan dari Korsel hanya menimbulkan masalah kecil politik dalam negeri bagi Yoon, tapi dapat berdampak pada sejauh mana ia dapat memenangkan kerja sama dengan Jepang.
Pada Perang Dunia II ratusan ribu orang Korea dipaksa bekerja untuk perusahaan Jepang atau menjadi budak seks di prostitusi militer Tokyo. Sebagian besar korban kerja paksa sudah meninggal dunia dan penyintas yang tersisa berusia 90-an tahun.
Pada tahun 2018 Pengadilan Tinggi Korsel memerintahkan dua perusahaan Jepang yakni Nippon Steel dan Mitsubishi Heavy Industries untuk membayar kompensasi pada 15 korban kerja paksa, kini tinggal tiga yang masih hidup dan semuanya berusia 90 tahun lebih.
Dalam konferensi pers yang disiarkan di televisi Menteri Luar Negeri Park Jin mengatakan para korban akan mendapatkan kompensasi melalui yayasan milik pemerintah yang didanai dari sumbangan warga. Ia mengatakan Korsel berharap perusahaan-perusahaan Jepang juga akan memberikan kontribusi sukarela ke yayasan tersebut.
"Kami membandingkannya dengan segelas air, saya gelasnya hanya setengah penuh, kami berharap kelasnya lebih penuh ke depannya dengan respon Jepang yang tulus," kata Park, Senin (6/3/2023) pekan lalu.
Di hari yang sama Yoon mengatakan langkah Korsel "tekad untuk melangkah maju hubungan Korea-Jepang yang berorientasi masa depan." Ia mengatakan kedua negara harus saling membantu agar hubungan mereka memasuki era baru.
Pemerintah Korsel tidak menjelaskan lebih rinci perusahaan mana saja yang akan membiayai yayasan ini. Tapi pada bulan Januari, ketua dewan Yayasan untuk Korban Kerja Paksa Kekaisaran Jepang Shim Kyu-sun mengatakan dananya akan berasal dari perusahaan-perusahaan Korea yang mendapatkan untung dari perjanjian normalisasi hubungan Korsel-Jepang tahun 1965.
Perjanjian 1965 diikuti ratusan juta dolar pinjaman dan bantuan ekonomi dari Tokyo ke Seoul yang digunakan dalam proyek-proyek pembangunan yang dilakukan perusahaan besar Korsel, termasuk POSCO yang kini berusaha baja multinasional. POSCO mengatakan akan dengan aktif mempertimbangkan kontribusi pada yayasan bila menerima permintaan resmi.
Jepang bersikeras semua kompensasi sudah selesai dalam perjanjian 1965. Perintah pengadilan Seoul pada perusahaan Jepang memicu pembatasan ekspor bahan kimia ke industri semikonduktor Seoul pada tahun 2019.
Korsel yang saat itu dipimpin Moon Jae-in menuduh Jepang menjadikan perdagangan sebagai senjata dan membalasnya dengan menghentikan kesepakatan berbagi intelijen militer dengan Tokyo yang merupakan simbol kerja sama tiga arah dengan Washington.
"Saya yakin rakyat Korea akan mengerti betapa keras pemerintah bekerja untuk mengobat luka korban kerja paksa dan membangun hubungan Korea-Jepang yang berorientasi masa depan," kata Yoon dalam wawancara tertulis dengan media internasional, Rabu (15/3/2023) kemarin.
Oposisi utama pemerintah Partai Demokrasi (DP) meloloskan resolusi sepihak melalui komite hubungan luar negeri parlemen yang mendesak Yoon menarik rencana kompensasi. Anggota parlemen dari Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang berkuasa memboikot rapat komite tersebut.
Lembaga hak asasi manusia Korsel mengatakan usulan pemerintah tidak sesuai dengan standar internasional.
"Karena masalah kompensasi korban kerja paksa adalah masalah penting untuk mengembalikan martabat manusia, semua langkah berlawanan harus mempertimbangkan dampak emosi dan psikologis para korban," kata ketua dewan Komisi Hak Asasi Manusia Nasional Korsel Song Doo-hwan pekan lalu.
Pengamat mengatakan lemahnya dukungan dari dalam negeri mempengaruhi kemampuan Yoon memenangkan konsesi dengan Jepang. Negeri Sakura berhati-hati dalam membuat kesepakatan dengan Korsel setelah kesepakatan kerja paksa perempuan Korsel di rumah bordil di masa penjajahan pada tahun 2015 lalu tersapu perubahan pemerintahan di Seoul.
"Perlawanan terakhir kami berasal dari rakyat," kata mantan dewan Akademi Diplomasi Nasional Korea Kim Joon-hyung.