REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Energi menjadi topik yang saat ini diperbincangkan berbagai kalangan seiring dengan komitmen berbagai negara dunia dalam forum G20 untuk menurunkan emisi karbon atau Net Zero Emission (NZE). Gas bumi dianggap sebagai salah satu sumber energi yang memegang peranan penting khususnya di masa transisi menuju NZE yang dicanangkan Pemerintah untuk dapat dicapai pada 2060.
Hal ini mendorong isu penyediaan LNG untuk PLTG Sambera oleh PT Pertagas Niaga (PTGN) yang bekerjasama dengan PT Risco Energi Pratama (Risco) menjadi ramai beberapa waktu belakangan ini. Kekhawatiran terganggunya suplai listrik yang dapat menghambat pembangunan IKN pun merebak.
PTGN dipercaya sebagai pihak yang memasok gas hasil regasifikasi Liquefied Natural Gas (LNG) ke Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Sambera, Samarinda, Kalimantan Timur sejak tahun 2018. Hal ini merupakan komitmen PTGN mendukung penyediaan energi bersih untuk pembangkit tenaga listrik.
Dalam perjanjian tersebut, PTGN berkewajiban untuk menyediakan fasilitas yaitu fasiltas pengisian, regasifikasi, penyimpanan dan transportasi LNG trucking. Untuk memenuhi kewajiban tersebut PTGN menggandeng mitra yaitu PT Risco Energi Pratama. Lingkup tanggung jawab PT Risco untuk membangun, memelihara dan mengoperasikan fasilitas infrastruktur regasifikasi LNG untuk PLTG Sambera, berikut fasilitas pendukungnya antara lain fasilitas pendukungnya antara lain transportasi LNG Trucking (15 Head Truck, 24 ISO Tank kapasitas 20 feet, berikut Bed Trailer) dan penyimpanan energi.
Ditemui di Jakarta pada Rabu (15/3/2023), Prof Supardji Ahmad SH MH memberikan tanggapan. “Bila dicermati betul-betul maka tidak ada yang mangkrak. Juga tidak ada keterkaitan isu pasokan listrik ini dengan IKN,” ujarnya dalam siaran pers.
Oleh karena itu, Prof Suparji Ahmad, menyarankan agar kedua belah pihak dapat duduk satu meja. “Pertagas Niaga tidak melakukan kesalahan dan tidak melakukan perbuatan melawan hukum dalam kasus tersebut,” ujarnya.
Guru Besar Fakultas Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini menilai tidak perlu ada pihak yang memperkarakan masalah ini hingga gugatan ke pengadilan, cukup dilakukan musyawarah antara kedua belah pihak. “Sebaiknya dilakukan musyawarah. Masing-masing pihak memberikan solusi sesuai kewenangan yang dimiliki,” tegasnya.
Senada, Pakar Hukum Energi dan Pertambangan, Dr Ahmad Redi, menyampaikan dalam suatu kontrak kerja sama antara dua belah pihak, ketika salah satu pihak mengharapkan adanya perubahan namun pihak yang lain tidak berkenan, maka hendaknya kembali kepada apa yang menjadi kesepakatan kedua belah pihak di awal, menanggapi isu penyediaan energi untuk memenuhi suplai listrik di Sambera, Kalimantan Timur yang melibatkan PT Pertagas Niaga dan PT Risco Energi Pratama.
Pertemuan untuk musyawarah, bisa dilakukan apabila kedua belah pihak sama-sama ingin mencari solusi atas persoalan ini. Inilah yang disampaikan Pakar Hukum Energi dan Pertambangan, Ahmad Redi.