REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan menegaskan tak pernah menawarkan restorative justice dalam penyelesaian hukum kasus pemukulan yang dialami korban Cristalino David Ozora dengan pelaku tersangka Mario Dandy Satriyo dan Shane Lukas Rotua Lumbantoruan. Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasi Penkum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta Ade Sofyansyah menegaskan kasus tersebut merupakan penganiyaan berat yang tak dapat diproses hukum dengan cara berdamai.
“Untuk tersangka Mario Dandy Satriyo dan tersangka Shane Lukas Rotua Pangodian Lumbantoruan tertutup peluang untuk diberikan penghentian penuntutan melalui restorative justice,” begitu kata Ade saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (17/3/2023).
Ade menjelaskan, dalam penuntasan hukum kasus tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) sudah melakukan pencermatan dan anatomi kasusnya. Kata dia, program restorative justice di kejaksaan, tak dapat diterapkan.
“Karena dalam kasus ini menyebabkan akibat langsung terhadap korban (David Ozora) yang sampai saat ini tidak sadarkan diri dan mengalami luka berat,” ujar Ade.
Sehingga, menurut dia, jalur peradilan dan penerapan hukuman berat harus dilakukan terhadap para pelaku tersangka. “Ancaman hukumannya lebih dari batas maksimal yang selama ini diterapkan dalam program RJ (restorative justice). Dan menjadikan JPU untuk memberikan hukuman yang berat atas perbuatan penganiyaan tersebut,” begitu sambung Ade.
Meskipun begitu, kata Ade, kejaksaan mengakui adanya kedatangan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Reda Mantovani bersama tim JPU ke RS Mayapada untuk menemui korban pihak keluarga David Ozora pada Kamis (26/3/2023). Namun kunjungan tersebut, tak membicarakan terkait restorative justice yang ditawarkan kejaksaan kepada pihak keluarga korban.
Melainkan, kata dia, kunjungan itu merupakan bentuk simpati biasa. “Sekaligus memastikan bahwa perbuatan para pelaku sangat layak untuk dihukum berat,” begitu sambung Ade.
Ade pun sekaligus mengklarifikasi pernyataan Kajati DKI Jakarta Reda Mantovani yang beredar di pemberitaan terkait dengan restorative justice terhadap salah satu anak perempuan 15 tahun terlibat dalam kasus tersebut. Yaitu anak berinisial AG yang saat ini dalam pembatasan hukum lantaran status hukumnya sebagai anak yang berkonflik dengan hukum terkait kasus penganiyaan berat tersebut.
Ade menjelaskan, pernyataan Kajati menyangkut AG merupakan respons hukum dari kejaksaan yang diatur dalam UU Perlindungan Anak. Kejaksaan menilai keterlibatan AG dalam kasus tersebut adalah tak langsung dalam kekerasan dan penganiayaan terhadap korban.
Ini pun mengingat AG yang turut terlibat dan berstatus anak berkonflik dengan hukum, membuat kejaksaan mempertimbangkan penghukuman dengan masa depannya. Ini dilakukan melalui penyelesaian restorative justice.
“Statement Kajati DKI Jakarta memberikan peluang untuk menawarkan memberikan diversi kepada anak AG yang berkonflik dengan hukum semata-mata hanya mempertimbangkan masa depan anak AG sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak, oleh karena perbuatan yang bersangkutan (AG) tidak secara langsung melakukan kekerasan terhadap korban (David Ozora),” begitu terang Ade.
Akan tetapi, Ade menegaskan, peluang AG dalam restorative justice itu pun bukan tanpa syarat. Terutama syarat dari pihak keluarga korban untuk berdamai.
“Apabila korban dan keluarga tidak memberikan uapaya damai khusus terhadap pelaku anak AG yang berkonflik dengan hukum maka upaya restoratif justice tidak akan dilakukan,” begitu kata Ade.