Sabtu 18 Mar 2023 09:17 WIB

Ini Dampak Krisis Bank AS pada Negara Teluk Timur Tengah

S&P mengindikasikan tidak ada alasan khawatir untuk GCC.

Rep: Novita Intan/ Red: Lida Puspaningtyas
FILE - Tanda Silicon Valley Bank diperlihatkan di San Francisco, 13 Maret 2023. Gugatan class action sedang diajukan terhadap perusahaan induk Silicon Valley Bank, CEO dan direktur keuangannya, dengan mengatakan bahwa perusahaan tidak mengungkapkan risiko yang akan ditimbulkan oleh kenaikan suku bunga di masa depan terhadap bisnisnya. Gugatan tersebut mencari ganti rugi yang tidak ditentukan untuk diberikan kepada mereka yang berinvestasi di Grup Finansial SVB antara 16 Juni 2021 dan 10 Maret 2023.
Foto: AP Photo/Jeff Chiu, file
FILE - Tanda Silicon Valley Bank diperlihatkan di San Francisco, 13 Maret 2023. Gugatan class action sedang diajukan terhadap perusahaan induk Silicon Valley Bank, CEO dan direktur keuangannya, dengan mengatakan bahwa perusahaan tidak mengungkapkan risiko yang akan ditimbulkan oleh kenaikan suku bunga di masa depan terhadap bisnisnya. Gugatan tersebut mencari ganti rugi yang tidak ditentukan untuk diberikan kepada mereka yang berinvestasi di Grup Finansial SVB antara 16 Juni 2021 dan 10 Maret 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, -- Gejolak sektor perbankan Amerika Serikat memicu kekhawatiran di seluruh pasar, tak terkecuali Timur Tengah. Hal ini diprediksi berdampak terbatas pada sebagian besar pemberi pinjaman di wilayah Gulf Cooperation Council (GCC) atau Dewan Kerjasama Teluk.

Seperti dilansir dari Zawya, Sabtu (18/3/2023) dua bank besar di AS, Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank (SB), ambruk selama akhir pekan. Krisis, yang terkait dengan sektor teknologi dan kripto, telah memicu kekhawatiran akan kehancuran yang lebih luas industri perbankan.

Baca Juga

Dalam analisis barunya, S&P mencatat mayoritas bank GCC dapat mengelola risiko penularan apa pun dari kegagalan bank. Mengutip bahwa paparan pemberi pinjaman regional di Amerika Serikat lebih rendah dari lima persen dari total aset. Selain itu, bank juga memiliki profil pendanaan dan likuiditas yang baik dan diharapkan menerima dukungan pemerintah jika diperlukan.

Dari 19 bank yang peringkat S&P, hanya lima yang memiliki lebih dari lima persen aset di Amerika Serikat, sementara empat bank memiliki lebih dari lima persen kewajiban kepada mitranya di Amerika Serikat. Hingga akhir tahun lalu, eksposur bank-bank yang diperingkat dipatok sebesar 4,6 persen dari aset dan 2,3 persen dari kewajiban.

"Umumnya, bank-bank GCC akan memiliki aktivitas pinjaman terbatas di AS dan sebagian besar aset mereka akan berada instrumen kualitas kredit tinggi atau dengan Bank Federal Reserve AS," kata S&P.

Melihat kerugian yang belum direalisasi bank-bank GCC, S&P mengindikasikan tidak ada alasan khawatir, mengutip bahwa cadangan revaluasi rata-rata negatif 2,6 persen dari total ekuitas pada akhir 2022. Di antara pemberi pinjaman yang memiliki kerugian belum direalisasi tertinggi, rasionya masih hanya minus 10,9 persen.

"Hasil yang sedikit positif hingga 1,9 persen segelintir bank terutama berasal dari eksposur lindung nilai terhadap volatilitas suku bunga," kata S&P.

Penting juga untuk menyebutkan bahwa tidak semua kerugian yang belum direalisasi terkait dengan eksposur di Amerika Serikat. Sebaliknya, mereka terkait dengan investasi keseluruhan bank, termasuk instrumen GCC yang nilai wajarnya menurun karena bank sentral di kawasan itu menaikkan suku bunga mereka.

Sementara aset Amerika Serikat dari pemberi pinjaman di kawasan itu telah berkontribusi pada kerugian yang belum direalisasi, S&P mengatakan jumlah keseluruhan masih terlihat dapat dikelola. S&P mengatakan ada kemungkinan terbatas bahwa bank-bank GCC pada akhirnya akan menjual sekuritas investasi dalam volume yang signifikan.

"Jika mereka melakukannya, dan semua kerugian yang belum direalisasi mengkristal, dampaknya akan lebih pada profitabilitas daripada kapitalisasi mayoritas bank yang diperingkat," kata lembaga pemeringkat tersebut.

Kegagalan bank baru-baru ini memicu kekhawatiran bahwa sistem keuangan yang lebih luas dapat berisiko, mendorong pemerintah AS turun tangan dan meyakinkan para deposan bahwa simpanan mereka aman. Salah satu bank yang gagal, SVB, populer kalangan perusahaan industri teknologi, serta pemodal ventura Silicon Valley.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement