Sabtu 18 Mar 2023 15:41 WIB

Adian PDIP Justru Kritik Pemerintah Terkait Larangan Impor Pakaian Bekas, Ini Alasannya  

Adian Napitupulu pertanyakan motif di balik larangan impor pakaian bekas

Rep: Rizky Suryarandika, Dessy Suciati Saputri/ Red: Nashih Nashrullah
Pengunjung mencari pakaian bekas impor di Jakarta, Kamis (16/3/2023). Pemerintah melarang penjualan pakaian impor bekas karena dianggap mematikan bisnis UMKM dan merugikan industri tekstil dalam negeri.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pengunjung mencari pakaian bekas impor di Jakarta, Kamis (16/3/2023). Pemerintah melarang penjualan pakaian impor bekas karena dianggap mematikan bisnis UMKM dan merugikan industri tekstil dalam negeri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Larangan impor pakaian bekas atau thrifting memicu pro dan kontra, bahkan suara penolakan dilontarkan dari kader partai penguasa, PDIP.  

Anggota DPR RI, Adian Napitupulu, mempertanyakan kebijakan larangan impor pakaian bekas atau thrifting. Dia menduga kebijakan itu menyimpan agenda tersembunyi.

Baca Juga

Adian merujuk data Asosiasi Pertekstilan Indonesia dimana impor pakaian jadi dari negara China menguasai 80 persen pasar di Indonesia. 

Adian mencontohkan pada 2019 impor pakaian jadi dari China 64.660 ton, sementara menurut data BPS pakaian bekas impor di tahun yang sama hanya 417 ton atau tidak sampai 0,6 persen dari impor pakaian jadi dari China.

Pada 2020, lanjut Adian, impor pakaian jadi dari China sebesar 51.790 ton, sementara pakaian bekas impor hanya 66 ton atau 0,13 persen dari impor pakaian dari China. 

Pada 2021 impor pakaian jadi dari China 57.110 ton, sementara impor pakaian bekas sebesar hanya 8 ton atau 0,01 persen dari impor pakaian jadi dari China.

"Jika impor pakaian jadi dari China mencapai 80 persen lalu pakaian jadi impor Bangladesh, India, Vietnam dan beberapa negara lain sekitar 15 persen maka sisa ruang pasar bagi Produk dalam negeri cuma tersisa maksimal 5 persen itu pun sudah diperebutkan antara perusahaan besar seperti Sritex, ribuan UMKM dan pakaian bekas impor," kata Adian dalam keterangannya pada Sabtu (18/3/2023).

Adian mengamati dari 417 ton impor pakaian bekas itu pun tidak semuanya bisa dijual ke konsumen. Sebab ada yang tidak layak jual. Menurutnya, rata rata yang bisa terjual hanya sekitar 25 persen hingga 30 persen saja atau di kisaran 100 ton.

"Dari seluruh angka di atas maka sesungguhnya UMKM kita dibunuh siapa? Mungkin urut urutannya seperti ini. UMKM 80 persen dibunuh pakaian jadi impor dari China, sementara pakaian jadi impor China saat ini tidak dibunuh, tapi sedang digerogoti pakaian bekas impor," ujar Adian.

Adian lantas meragukan siapa sesungguhnya yang dibela Kemendag dan Kemenkop UMKM. Ia menduga kedua Kementerian itu mengkambinghitamkan impor pakaian bekas. Padahal fenomena impor pakaian jadi cenderung lebih berbahaya bagi UMKM.

"Mengapa para menteri itu berlomba-lomba mengejar, membakar dan menuduh pakaian bekas itu menjadi tersangka tunggal pelaku pembunuhan UMKM? Mengapa para menteri itu tidak berupaya mengevaluasi peraturan dan jajarannya untuk memberi ruang hidup lebih besar, melatih cara produksi, cara marketing bahkan kalau perlu membantu para UMKM itu menerobos pasar luar negeri," ujar Adian.

Oleh karena itu, Adian meminta Kemendag dan Kemenkop UMKM memperbaiki data lebih dulu agar tak salah ketika menjalankan kebijakan.

"Kalau dikatakan bahwa pakaian Thrifting itu membunuh UMKM maka izin saya mau bertanya, data apa yang digunakan para menteri itu," sindir Adian.

Adian mensinyalir "perang" terhadap thrifting muncul karena resahnya importir pakaian jadi. "Saya tidak menemukan argumentasi rasional upaya pemburuan pelaku thrifting selain dari permintaan para importir pakaian jadi yang menguasai 80 persen pasar Indonesia," tegas Adian.

Fenomena thrifting alias membeli barang bekas layak pakai populer belakangan ini. Fenomena ini pada awalnya muncul dengan semangat berhemat dan mengurangi produksi sampah akibat barang bekas tak terpakai.

Baca juga: Muhammadiyah Resmi Beli Gereja di Spanyol yang Juga Bekas Masjid Era Abbasiyah

Thrifting ini biasanya memperjualbelikan barang bekas berupa produk garmen seperti baju, celana, jaket dan lain-lain. Sementara produk lainnya memperjualbelikan sepatu, tas, ransel, dan asesoris lainnya. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut memberikan perhatiannya terhadap bisnis baju bekas impor yang marak saat ini. Ia menegaskan, bisnis baju bekas impor ini sangat menganggu industri tekstil dalam negeri.

"Itu mengganggu industri tekstil di dalam negeri. Sangat mengganggu. Yang namanya impor pakaian bekas, mengganggu. Sangat mengganggu industri dalam negeri kita," kata Jokowi di GBK, Rabu (15/3/2023). 

Karena itu, ia pun menginstruksikan jajarannya agar mencari para pelaku impor pakaian bekas. "Sudah saya perintahkan untuk mencari betul dan sehari dua hari sudah banyak yang ketemu," kata Jokowi. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement