REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono, melihat Amerika Serikat, dan sekutunya memiliki agenda tersendiri dalam perang Rusia-Ukraina, dan itu juga yang memperlambat proses perdamaian. Dan negara-negara Eropa barat terpaksa masuk dalam ritme yang ditentukan oleh AS, Walau pun itu menyakitkan bagi ekonomi Eropa barat. Akibatnya mereka semua tersandera.
Hal ini sampaikan Dave ketika ditanya soal Bom Nordic. Ledakan besar di Nord Stream 1 dan Nord Stream 2 pada 26 September 2022, yang diistilahkan oleh situs berita EurAsian Times sebagai “bom Nordic”, turut memperkeruh suasana. Baik Amerika Serikat maupun Rusia menyangkal bertanggung jawab atas ledakan tersebut.
Dave Laksono mempertanyakan, seberapa kuat ekonomi Rusia menghadapi ribuan sanksi yang diberikan dunia. “Apakah China akan terus menyokong mereka?. Banyak hal yang harus kita lihat untuk memprediksi perang ini” kata Dave dalam siaran pers, Ahad (18/3/2023).
Memang, lanjut dia, China belakangan muncul memainkan peran strategisnya, termasuk sukses mendamaikan Arab Saudi dan Iran. Tetapi, adakah China bakal sukses bermain dan mendamaikan perang Rusia Ukraina ini?. Menurut Dave Laksono, tidak mungkin bermain sendiri, harus melibatkan semua pihak.
Dave Laksono berharap perang Rusia versus Ukraina ini tidak terus bergolak, sampai ada yang kalah, misalnya. Sampai kini, kalangan internasional, termasuk pihak Indonesia senantiasa mengupayakan terjadinya perdamaian di wilayah itu.
Untuk jalur perdamaian dunia, menurut Dave Laksono, DPR RI selalu membawa masalah itu, ke berbagai panggung parlemen yang ada. “Iya, itu selalu kita bawa. Dalam setiap kegiaatan parlemen, baik bilateral, atau multilateral, kita selalu mengupayakan dialog agar tercipta perdamaian, dan perang Rusia-Ukraina berhenti dengan damai.”
Sementara itu, pengamat Eropa Timur dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Radityo Dharmaputra mengungkapkan, lepas dari benar tidaknya ada sabotase dalam peledakan pipa itu, ada yang perlu dipahami dari meletusnya perang Rusia-Ukraina. Masalah mendasar itulah, yang selama ini membuat sulit mencari titik temu, sehingga perang bergolak, dan membuat korban terus berjatuhan.
Menurut Radityo Dharmaputra, perang tersebut bukan soal NATO, seperti banyak pandangan orang awam dan para ahli yang tidak paham soal Rusia dan Ukraina. “Ini soal identitas diri. Bahwa Rusia merasa Ukraina semakin jauh dari dia, sementara Ukraina memang ingin menjauh secara politik dan kultural dari Rusia karena mereka trauma dengan Rusia.”
Pihak yang menekan dan mengimbau agar perang dihentikan tidak memahami situasi ini. Karena situasi yang sulit dipahami itulah, titik temu ini memang belum akan dicapai. Karena Putin tidak punya opsi selain terus menyerang. Kalau tidak menyerang, Rusia, atau Presiden Vladimir Putin akan jatuh, karena dianggap gagal dan akan dapat tekanan dari masyarakat Rusia juga.
Sebuah laporan dari jurnalis investigasi pemenang penghargaan Pulitzer, Seymour Hersh terang-terangan menuding Amerika Serikat sebagai dalang di balik serangan yang meledakkan pipa gas Rusia tersebut. Sejak lama Amerika Serikat menentang pipa gas alam Nord Stream, yang mayoritas sahamnya ternyata dimiliki perusahaan gas Rusia, Gazprom.
Jalur pipa tersebut menjadi bagian penting dari infrastruktur energi Eropa. Pipa gas alam ini memasok gas alam Rusia yang siap pakai ke Eropa sehingga mengurangi ketergantungan Rusia pada energi Amerika Serikat.