REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Pemerintah menyatakan penjualan baju bekas impor mengganggu utilisasi industri. Oleh karena itu, pemerintah melarang penjualan baju bekas impor.
Padahal, thrifting banyak digemari, khususnya mereka anak muda. Sebab, thrifting merupakan salah satu cara untuk membeli produk fashion tanpa harus merogoh kocek mahal.
Pada dasarnya, thrifting adalah belanja pakaian bekas. Tujuan dari thrifting adalah berhemat. Anda bisa menemukan pakaian bekas di pasar loak, pasar obral, toko amal, pusat donasi, toko pakaian bekas, atau bahkan toko daring.
Dilansir Pretty Old Clothing, Senin (20/3/2023), menurut penelitian ThredUp, pasar pakaian bekas akan mencapai 64 miliar dolar AS pada tahun 2024 dan belanja daring telah berperan besar dalam pertumbuhan ini. Belanja daring untuk pakaian bekas diproyeksikan tumbuh sebesar 69 persen antara tahun 2019 dan 2021.
Sejarah thrifting
Sejarawan Jennifer Le Zotte sekaligus penulis From Goodwill to Grunge: A History of Secondhand Styles and Alternative Economies mengatakan gelombang imigrasi besar mulai terlihat di Amerika Serikat (AS) pada akhir abad ke-19. Revolusi industri memperkenalkan produksi massal pakaian yang mengubah peta bisnis.
Ketika harga pakaian baru semakin terjangkau, semakin banyak orang menganggap pakaian sebagai barang sekali pakai. Ketika populasi perkotaan tumbuh, ruang hidup menyusut dan lebih banyak harta benda dibuang. Pegadaian dan barang bekas bermunculan selama periode ini dalam upaya menemukan kegunaan baru dari barang-barang tersebut.
Barang bekas juga terlihat sebagai cara untuk berhemat. Mulailah bermunculan beberapa kelompok yang meminta pakaian bekas. Pada tahun 1897, Salvation Army berkeliling dengan gerobak dorong meminta pakaian bekas dan mereka mendapat makanan dan penginapan sebagai imbalan.