Oleh : Fajri Matahati Muhammadin*
REPUBLIKA.CO.ID, Mahkamah Pidana Internasional atau the International Criminal Court (ICC) baru saja pada tanggal 17 Maret 2023 lalu mengeluarkan surat penangkapan untuk Presiden Rusia Vladimir Putin. Selain untuk Putin, surat penangkapan juga dikeluarkan untuk Maria Alekseyevna Lvova-Belova yang merupakan komisioner hak anak bagi Presiden. Surat penangkapan ini adalah atas dasar dugaan keterlibatan keduanya dalam kejahatan perang (War Crimes) berupa deportasi dan pemindahan yang tidak sah terhadap anak-anak dari wilayah Ukraina ke Rusia.
Sebenarnya, 'todongan' dari ICC kepada Rusia bukan hal baru. Sejak Januari 2016, sebenarnya ICC sudah memulai investigasi terkait dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) di Georgia saat perang tahun 2008. Akan tetapi, yang didakwa adalah perwira-perwira South Ossetia yang didukung oleh Rusia. Ada perwira militer Rusia bernama Vyacheslav Borisov yang seharusnya didakwa tetapi tidak jadi karena keburu meninggal.
Sebenarnya Rusia dalam banyak sudut sudah aman dari ICC. Sebab, ICC hanya dapat memiliki kewenangan apabila kejahatan diduga dilakukan di wilayah negara anggota atau oleh warga negara anggota (Pasal 12[2] Statuta Roma, yang merupakan sumber hukum utama ICC). Dalam kasus ini, Rusia maupun Ukraina bukanlah negara anggota ICC. Satu pengecualian adalah apabila Dewan Keamanan mengeluarkan Resolusi yang mengesampingkan syarat tersebut (Pasal 13[b] Statuta Roma, yang tentunya tidak mungkin terjadi karena Rusia memiliki hak veto.
Akan tetapi, ternyata ada satu pengecualian lagi. Sebagaimana Pasal 12(3) Statuta Roma, negara non-anggota ICC boleh saja menundukkan dirinya kepada ICC tanpa menjadi anggota. Hal inilah yang dilakukan oleh Ukraina pada bulan September 2015, yang saat itu konteksnya adalah untuk membidik Rusia atas dugaan-dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam perang Crimea sejak tahun 2013. Kemudian pada tanggal 28 Februari 2022, Jaksa ICC memulai investigasi dan dalam beberapa hari setelahnya ada puluhan negara anggota ICC yang secara formal meminta perkara mulai dijalankan.
Yang menarik untuk dilihat adalah perbandingan sikap dengan Amerika Serikat (AS) untuk ‘mengamankan diri’ dari ICC. Selain menolak menjadi anggota ICC, AS juga sadar bahwa ia berpotensi terjerat apabila melakukan kejahatan perang di wilayah negara non-Anggota. Ini pula yang menjerat Israel, sebab Palestina menundukkan diri kepada ICC sekaligus mendaftar (dan diterima) menjadi anggota. Karena itu, AS melakukan banyak perjanjian dengan negara-negara anggota ICC untuk tidak memperkarakan warga negara AS yang melakukan kejahatan internasional di wilayah negara anggota ICC.
Perjanjian seperti ini diakui di Pasal 98 Statuta Roma, yang sebenarnya tujuannya untuk menghormati negara-negara non-anggota ICC yang punya iktikad baik untuk mengadili sendiri warga negaranya yang melakukan kejahatan internasional di wilayah negara lain. Meskipun, tentunya, bisa kita nilai sendiri sejauh mana AS memiliki iktikad baik dalam hal ini.
Jika dibandingkan dengan sikap AS, Rusia tampak seolah tidak peduli. Mereka sudah tahu bahwa Ukraina telah sejak sekian tahun menundukkan diri terhadap ICC tapi tetap saja melakukan invasi militer yang dibarengi beraneka dugaan kejahatan perang yang tampak begitu bengisnya. Bahkan pada tahun 2008 pun Rusia tidak tampak takut ketika berperang melawan Georgia yang sudah menjadi anggota ICC sejak 2003, dan akibat perang inilah Rusia pertama kalinya di-’todong’ sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Tidak ada cerita membuat perjanjian-perjanjian khusus (sebagaimana AS) dengan pihak mana pun.
Hanya saja, beda dengan isu perang Georgia dulu, kali ini begitu banyak negara di dunia yang telah bersatu untuk mengecam Rusia secara politis dan mencari peluang-peluang langkah hukum. Menarik mempertimbangkan betapa bersatunya mayoritas dunia mengecam Rusia kali ini, sedangkan kecaman serupa tidak terdengar kuat ketika AS dan aliansinya memporak-porandakan Afghanistan dan Irak dengan alasan yang tidak jauh berbeda mengada-ngadanya.
Apakah lantas langkah hukum akan berprospek cerah? Dari sudut kewenangan hukum, telah dijelaskan bahwa ternyata Ukraina telah berhasil membuka celah agar ICC dapat memeriksa dan mengadili dugaan-dugaan kejahatan internasional yang terjadi di wilayahnya. Secara formal, proses boleh saja berjalan. Pertanyaannya adalah sejauh mana ia dapat berjalan, mengingat bahwa sulit membayangkan Presiden Vladimir Putin menurut saja dan menyerahkan diri ke ICC. Siapa yang bisa menangkapnya untuk diserahkan ke ICC?
ICC tidak memiliki pasukan atau polisi sendiri yang memiliki kapasitas untuk mencari dan menangkap orang-orang yang diberi surat penangkapan. Maka ICC hanya dapat mengandalkan pihak-pihak lain untuk membantu menyerahkan. Dalam Pasal 86 Statuta Roma, negara-negara anggota ICC wajib untuk mendukung proses-proses di ICC. Sampai sini, sekilas tampak bahwa yang perlu dilakukan oleh Putin untuk menghindari penangkapan hanyalah tidak pergi ke negara-negara anggota ICC.
Akan tetapi, apabila dilihat lebih dalam, sebenarnya berjalan-jalan ke negara anggota ICC pun tampaknya ia akan aman. Pasalnya, dalam hukum internasional, seorang kepala negara memiliki imunitas dari hukum negara lain bahkan pelaku kejahatan internasional. Aturan hukum internasional ini cukup solid dan dipertegas dalam putusan Mahkamah Internasional atau the International Court of Justice (ICJ) pada perkara Congo vs Belgium tahun 2000 sebelum ICC mulai beroperasi. Perlu dicatat bahwa dalam kasus tersebut ICJ menambahkan bahwa hanya mahkamah berlevel internasional, bukan negara, yang berwenang mengadili kepala negara. Maka aturan inilah yang digunakan sebagai dalih oleh para negara anggota ICC apabila diminta menangkap kepala negara lain.
Misalnya, pada tahun 2009 dan 2010 ICC telah mengeluarkan surat penangkapan untuk kepala negara Sudan yaitu Omar Al-Bashir. Saat itu, bahkan Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi untuk mendukung ICC. Tapi, hampir sepuluh tahun Omar Al-Bashir tidak bisa ditangkap. Padahal, ia sering berkunjung ke negara-negara Afrika yang merupakan anggota ICC, tapi tidak ditangkap dengan alasan imunitas kepala negara.
Maka, kita sulit mengkritik betapa “ICC lemah terhadap negara-negara besar” ketika negara yang tidak terlalu kuat secara politik semisal Sudan pun ICC tidak bisa melakukan apa-apa. Apalagi negara-negara yang lebih kuat semisal AS atau Rusia.
Apa maknanya bagi surat penangkapan terhadap Vladimir Putin? Kalau Maria Alekseyevna Lvova-Belova perkaranya mungkin tampak lebih mudah karena tidak memiliki imunitas kepala negara, meskipun tidak terbayang Rusia akan dengan mudah menyerahkannya atau membiarkannya ditangkap pihak lain. Sedangkan untuk Vladimir Putin, tampaknya akan lebih sulit. Mungkin proses akan dapat berjalan, tapi rasanya jalan buntu sudah kelihatan.
Sebahagian perkara lain di ICC nampak berpotensi mengarah pada nasib serupa, misalnya kasus Palestina terkait invasi Israel atau kasus Bangladesh/Myanmar terkait kejahatan terhadap Rohingya. Persoalan kompetensi ICC untuk mengadili dapat diakali sedemikian rupa sehingga perkara-perkara ini dapat diproses oleh ICC. Akan tetapi, dalam sebahagian proses termasuk antara lain menangkap dan menghadirkan terduga-terduga pelaku di ICC, akan sangat terganjal. Sulit membayangkan pemerintah Israel dan Myanmar menyerahkan siapapun, apalagi kepala negara, ke ICC.
Berkaca pada kasus Sudan yang telah disebutkan tadi, Omar Al-Bashir akhirnya berhasil ditahan. Penahanan ini baru dapat dilakukan setelah ia dikudeta pada tahun 2019. Pada tahun 2020 akhirnya mulai ada proses untuk mengadili beliau di Sudan oleh sebuah pengadilan khusus.
Apakah proses ICC terhadap Vladimir Putin harus menunggu beliau dijatuhkan dulu? Jika memang demikian, kita mungkin harus bertanya lagi apakah sepadan harga yang harus dibayar untuk menjatuhkan seorang presiden negara pemilik nuklir seperti Rusia sekadar supaya beliau dapat diadili.
*Dosen di Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum UGM