REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Presiden Cina Xi Jinping dijadwalkan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskow. Pemerintah Cina mengatakan, Xi akan mengunjungi Moskow dari Senin (20/3/2023) hingga Rabu (22/3/2023).
Pemerintah Rusia mengatakan, Xi dijadwalkan tiba pada Senin siang dan bertemu dengan Putin. Pemerintah Xi tidak memberikan perincian tentang rencana pertemuannya dengan Putin.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan surat kabar Rusia Russian Gazetta pada Senin (20/3/2023), Xi mengatakan, Cina telah secara aktif mempromosikan pembicaraan damai. Menurut Xi, cara yang masuk akal untuk menyelesaikan krisis yaitu semua pihak menganut visi keamanan bersama, komprehensif, kooperatif, dan berkelanjutan.
“Kunjungan saya yang akan datang ke Rusia akan menjadi perjalanan persahabatan, kerja sama, dan perdamaian,” tulis Xi, menurut teks yang dirilis oleh Kantor Berita resmi Xinhua.
Sebelum invasi Moskow ke Ukraina pada Februari 2022, Xi dan Putin menyatakan bahwa mereka memiliki persahabatan tanpa batas. Cina telah mencoba untuk menggambarkan dirinya sebagai pihak yang netral. Beijing menyerukan gencatan senjata bulan lalu, tetapi Washington mengatakan, gencatan senjata akan meratifikasi kemenangan Kremlin di medan perang.
Cina memandang Rusia sebagai sumber minyak dan gas, serta sebagai mitra dalam menentang dominasi Amerika atas urusan global. Pakar hubungan Cina-Rusia di American University di Washington, Joseph Torigian, mengatakan, pertemuan tersebut memberikan kesempatan kepada Putin dan Xi untuk menunjukkan bahwa mereka adalah mitra yang kuat.
“Cina dapat memberi isyarat bahwa mereka bahkan dapat berbuat lebih banyak untuk membantu Rusia, dan jika hubungan dengan Amerika Serikat terus memburuk, mereka dapat berbuat lebih banyak untuk memungkinkan Rusia dan membantu Rusia dalam perangnya melawan Ukraina,” kata Torigian.
Hubungan Beijing dengan Washington, Eropa, dan tetangganya tegang oleh perselisihan mengenai teknologi, keamanan, hak asasi manusia, dan perlakuan Partai Komunis yang berkuasa terhadap Hong Kong dan minoritas Muslim. Bersama dengan India dan negara-negara lain yang mengklaim netralitas dalam konflik Ukraina, Cina telah meningkatkan pembelian minyak dan gas Rusia. Pembelian ini membantu menambah pendapatan Kremlin dalam menghadapi sanksi Barat.
Torigian mengatakan, Xi ingin dilihat sebagai negarawan global yang memainkan peran konstruktif dengan berbicara tentang perdamaian. Tapi di satu sisi, Xi tidak mungkin menekan Putin untuk mengakhiri perang.
"Beijing khawatir tentang potensi kerugian Rusia di medan perang, tetapi tidak ingin terlihat memungkinkan agresi Rusia. Mereka tidak akan menghabiskan modal politik untuk menekan Moskow untuk berdamai, terutama jika mereka tidak berpikir itu akan memberi mereka apa-apa,” kata Torigian.