Selasa 21 Mar 2023 08:11 WIB

Hanya Ada Tiga Jenderal Bintang Lima di Indonesia, Siapa Saja?

Pangkat jenderal bintang lima umum disebut dengan jenderal besar.

Rep: Ani Nursalikah/ Red: Partner
.
Foto: network /Ani Nursalikah
.

Patung gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman dipajang di halaman pintu masuk Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Patung Panglima Besar Tidak Pernah Sakit ini karya pematung Yusman. Dipasang di pintu masuk Benteng Vredeburg dalam rangka memperingati serangan umum 1 Maret di Yogyakarta. Hanya Ada Tiga Jenderal Bintang Lima di Indonesia, Siapa Saja? Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Patung gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman dipajang di halaman pintu masuk Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Patung Panglima Besar Tidak Pernah Sakit ini karya pematung Yusman. Dipasang di pintu masuk Benteng Vredeburg dalam rangka memperingati serangan umum 1 Maret di Yogyakarta. Hanya Ada Tiga Jenderal Bintang Lima di Indonesia, Siapa Saja? Foto: Republika/Wihdan Hidayat

MAGENTA -- Pangkat tertinggi dalam kemiliteran tidak hanya mentok di jenderal bintang empat saja, seperti yang diketahui secara umum. Ternyata, ada pangkat jenderal bintang lima dengan sebutan jenderal besar di Indonesia.

Dalam kepangkatan, sebelum mencapai bintang empat atau jenderal penuh, perwira tinggi TNI AD harus melewati bintang satu lebih dulu atau Brigadir Jenderal (Brigjen TNI). Kemudian, naik bintang dua menjadi Mayor Jenderal (Mayjen TNI).

Selanjutnya naik pangkat lagi menjadi bintang tiga alias Letnan Jenderal (Letjen TNI). Puncaknya adalah bintang empat dengan sebutan Jenderal.

Menurut PP Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1990 tentang Administrasi Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pangkat Jenderal Besar diberikan kepada perwira tinggi yang sangat berjasa terhadap perkembangan bangsa dan negara pada umumnya dan Tentara Nasional Indonesia pada khususnya.

Di Indonesia ada tiga orang yang mendapat pangkat bintang lima dengan sebutan jenderal besar. Pangkat ini ditandai dengan lima bintang emas di pundak.

Jenderal yang dianggap pantas mendapatkan bintang lima di Indonesia adalah Jenderal Besar TNI Soedirman, Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution, dan Jenderal Besar TNI Soeharto. Ketiganya diberi pangkat Jenderal Besar saat perayaan HUT 52 tahun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI) pada 1997. Berikut profil ketiga jenderal, dirangkum dari berbagai sumber.

Sosok tiga jenderal besar dengan bintang lima...


Tiga jenderal besar dengan bintang lima di Indonesia

• Jenderal Besar TNI Soedirman

Jenderal Besar kelahiran 24 Januari 1916 ini adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Dia juga adalah Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia pertama.

Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi. Soedirman sangat dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam.

Pada 1944, anak dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem ini bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang. Soedirman adalah perokok berat.

Dia menderita penyakit paru-paru sejak remaja. Kebiasaan mengisap tembakau membuatnya mengalami gangguan pernapasan. Kondisi kesehatannya menurun sejak pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, Jawa Timur pada 1948.

Saat memimpin perang gerilya Soedirman lebih sering ditandu karena penyakitnya. Kurang lebih tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali, sementara obat juga hampir-hampir tidak ada.

Monumen Jenderal Soedirman yang baru diresmikan terlihat di area CBD PIK2, Tangerang, Banten, Jumat (3/2/2023). Monumen setinggi 15 meter ini menandakan posisinya sebagai karya seni yang dapat mengingatkan masyarakat dan pengunjung kawasan PIK2 tentang sosok Jenderal Soedirman, sekaligus penanda gerbang utama menuju CBD PIK2 yang berada persis di mulut exit tol PIK 2 yang rencananya selesai awal 2024. Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Monumen Jenderal Soedirman yang baru diresmikan terlihat di area CBD PIK2, Tangerang, Banten, Jumat (3/2/2023). Monumen setinggi 15 meter ini menandakan posisinya sebagai karya seni yang dapat mengingatkan masyarakat dan pengunjung kawasan PIK2 tentang sosok Jenderal Soedirman, sekaligus penanda gerbang utama menuju CBD PIK2 yang berada persis di mulut exit tol PIK 2 yang rencananya selesai awal 2024. Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto

Namun demikian, dikutip dari buku Biografi Jenderal Soedirman, tentara Belanda selalu gagal memburu Soedirman saat bergerilya di hutan Jawa. Bahkan, ia pernah luput dari musuh yang hanya berjarak sekitar 10-20 meter. Padahal jika saat itu penyakitnya kambuh dan membuatnya batuk-batuk, pastilah musuh akan mendengar dan menangkapnya.

Anehnya tidak ada satu pun musuh yang melihat Soedirman bersembunyi di antara ilalang yang pendek. Dan Soedirman lolos lagi dari kejaran tentara Belanda.

Pada 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah. Banyak rakyat berkumpul hingga sepanjang dua kilometer untuk ikut mengiringi prosesi pemakaman sang pahlawan revolusioner tersebut.

Selain itu, empat tank dan 80 kendaraan bermotor turut mengantarkan Jenderal Besar Soedirman menuju tempat peristirahatan terakhirnya, di Taman Makam Pahlawan Yogyakarta.


• Jenderal Besar Abdul Haris Nasution

Abdul Haris Nasution lahir di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara pada 3 Desember 1918.

Ayahnya adalah seorang pedagang yang menjual tekstil, karet, dan kopi. Ayahnya, yang religius dan anggota organisasi Sarekat Islam, ingin sang anak belajar di sekolah agama.

Sementara, sang ibu ingin anaknya belajar kedokteran di Batavia. Namun, setelah lulus dari sekolah pada 1932, Nasution menerima beasiswa untuk belajar di Sekolah Raja Bukittinggi (kini SMA Negeri 2 Bukittinggi).

Nasution mendapatkan pelatihan militer pada 1940, saat pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang menerima orang Indonesia. Pada September 1940 dia dipromosikan menjadi kopral, tiga bulan kemudian menjadi sersan.

Nasution bergabung dengan militer Indonesia yang saat itu dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setahun kemudian dia diangkat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat. Dalam posisi ini, Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang akan menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada masa depan.


Pada 1948, Nasution menjadi Wakil Panglima TKR. Meski hanya berpangkat Kolonel, Nasution telah menjadi orang paling kuat kedua di TKR, setelah Jenderal Soedirman. Pada 1950, Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, dengan T.B. Simatupang menggantikan Soedirman yang telah meninggal dunia sebagai Kepala Staf Angkatan Perang.

Sebuah percobaan kudeta terjadi pada 1965 oleh PKI. Rumah Nasution diserang dan putrinya terbunuh, tetapi dia berhasil melarikan diri dengan memanjat tembok dan bersembunyi di kediaman duta besar Irak. Dalam gejolak politik berikutnya, ia membantu kenaikan Presiden Soeharto dan diangkat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.

Pada Juli 1978, bersama-sama dengan mantan Wakil Kresiden Hatta, Nasution mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB). Pemerintah Soeharto bergerak cepat dan tidak mengizinkan YLKB mengadakan pertemuan pertama pada Januari 1979.

Pengunjung mengamati Kediaman Rumah Jenderal Besar A. H Nasution di Menteng, Jakarta, Jumat (30/9/2022). Rumah Kediaman Jenderal Besar A. H Nasution kini telah menjadi Museum Sasmitaloka A. H Nasution yang diresmikan oleh Presidem SBY pada 3 Desember 2008 untuk mengenang peristiwa G30S/PKI. Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengunjung mengamati Kediaman Rumah Jenderal Besar A. H Nasution di Menteng, Jakarta, Jumat (30/9/2022). Rumah Kediaman Jenderal Besar A. H Nasution kini telah menjadi Museum Sasmitaloka A. H Nasution yang diresmikan oleh Presidem SBY pada 3 Desember 2008 untuk mengenang peristiwa G30S/PKI. Foto: Republika/Thoudy Badai

Kemudian, Nasution mengumpulkan anggota ABRI yang tidak puas dengan rezim Soeharto seperti mantan gubernur Jakarta Ali Sadikin, mantan kapolri Hoegeng Imam Santoso, dan mantan wakil kepala staf Angkatan Darat Mochamad Jasin. Mantan perdana menteri Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap serta ketua PDRI Syafruddin Prawiranegara ikut bergabung.

Bersama dengan banyak nama kritikus terkenal terhadap pemerintah, mereka menandatangani petisi yang dikenal sebagai Petisi 50. Petisi itu ditandatangani pada 5 Mei 1980 dan disampaikan ke DPR pada 13 Mei 1980. Petisi ini menyerukan Soeharto untuk berhenti menafsirkan Pancasila sesuai tujuannya sendiri.

Pada 5 Oktober 1997, pada kesempatan ulang tahun ABRI, Nasution diberi pangkat kehormatan Jenderal Besar. Jenderal Besar Nasution meninggal dunia pada 6 September 2000 di Jakarta setelah menderita strok. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.


• Jenderal Besar Soeharto

Soeharto adalah Presiden Republik Indonesia kedua menggantikan Soekarno. Pria dengan julukan "The Smiling General" itu berkuasa dari 1967 sampai 1998. Soeharto lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta, pada 8 Juni 1921.

Soeharto adalah pemimpin militer pada masa Hindia Belanda dan Kekaisaran Jepang, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal sebelum ia menjadi presiden. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) melalui mandatnya mengangkat Soeharto sebagai presiden pada 26 Maret 1968 menggantikan Soekarno. Ia dipilih kembali oleh MPR pada 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

Koleksi Foto Presiden ke-2 RI Soeharto ikut dipamerkan saat Bantul Museum Expo 2022 di Bantul, Yogyakarta, Ahad (21/8/2022). Pameran yang diikuti 15 museum di Bantul ini bertepatan dengan HUT ke-77 RI serta dalam rangka memperingati Satu Dasa Warsa Undang-Undang Keistimewaan DIY. Diharapkan pameran dengan tema Pustaka Raya ini menjadi sarana edukasi dan menarik minat masyarakat untuk berkunjung ke museum. Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Koleksi Foto Presiden ke-2 RI Soeharto ikut dipamerkan saat Bantul Museum Expo 2022 di Bantul, Yogyakarta, Ahad (21/8/2022). Pameran yang diikuti 15 museum di Bantul ini bertepatan dengan HUT ke-77 RI serta dalam rangka memperingati Satu Dasa Warsa Undang-Undang Keistimewaan DIY. Diharapkan pameran dengan tema Pustaka Raya ini menjadi sarana edukasi dan menarik minat masyarakat untuk berkunjung ke museum. Foto: Republika/Wihdan Hidayat

Pada 1998, masa jabatan Soeharto berakhir setelah mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, menyusul terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Dengan demikian Soeharto merupakan orang terlama yang menjabat sebagai presiden Indonesia. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.

Selama 30 tahun lebih menjadi presiden, Soeharto telah banyak mempengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambilalihan kekuasaan dari Sukarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham komunisme dan melarang pembentukan partai komunis.

Jenderal Besar Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta. Jenazah Soeharto dimakamkan di Astana Giri Bangun. Upacara pemakaman Soeharto tersebut dipimpin oleh inspektur upacara Susilo Bambang Yudhoyono. (MHD)

Baca juga: VIDEO Aksi Penerjun Payung Perempuan Arab Saudi Kibarkan Bendera di Udara

sumber : https://magenta.republika.co.id/posts/206505/hanya-ada-tiga-jenderal-bintang-lima-di-indonesia-siapa-saja
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement