MAGENTA -- Sejak abad 18, buah sukun sudah menjadi primadona kalangan orang Eropa dan jajahannya, khususnya di Pasifik. Mengutip buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia yang ditulis oleh Fadly Rahman, buah dengan nama ilmiah Artocarpus altilis itu bisa menjadi alternatif bahan makanan yang murah dan bermanfaat bagi energi para budak.
Pohon sukun mudah beradaptasi dengan berbagai kondisi tanah. Hal ini menarik perhatian ahli nutrisi Eropa yang sedang berada di Ambon saat itu untuk meneliti kandungan nutrisinya.
Orang Eropa menganggap buah sukun menyerupai buah kastanye. Mereka bahkan menyebut sukun sebagai buah ajaib. Pria asal Jerman bernama Rumphius yang menginjakkan kakinya di Ambon pada 1653 mengatakan sukun dapat diolah dengan cara direbus, dibuat manis, atau digoreng.
"Rasanya seperti kue bulat beragi dan adonan puding; selembut dan seperti krim layaknya alpukat atau basah seperti keju berkulit keputihan," tulis Rumphius dalam bukunya yang berjudul Herbarium Amboinense Jilid 1.
Rumphius juga mengamati sukun bisa menjadi kudapan serbaguna. Sukun dianggap seperti roti. Di kalangan sebagian orang Eropa, buah sukun dikenal dengan sebutan breadfruit atau broodvrucht.
Saat itu, di Sumatra, Jawa, dan Bali, sukun dimanfaatkan untuk mendukung beras. Sedangkan penduduk Sulawesi hingga Maluku sangat mengandalkan sukun.
Sebagai serorang botanis, Rumphius tidak hanya meneliti pohon sukun saja. Dia juga meneliti berbagai jenis tumbuhan lainnya agar dapat dibudidayakan dan dikonsumsi, termasuk cara pengelolaannya. (MHD)
Baca juga:
Cara Mengurus BPKB Hilang Lengkap dengan Biayanya
Siap Jalan-Jalan? Ini 7 Benda yang Wajib Ada di Ransel Kamu