Rabu 22 Mar 2023 07:42 WIB

Jepang dan Cina Bersaing dalam Kunjungan ke Dua Negara Berkonflik

PM Jepang melakukan kunjungan mendadak ke Ukraina, sementara Presiden Cina ke Rusia.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
File foto Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, kiri, dan Presiden Cina Xi Jinping berjabat tangan pada awal pertemuan mereka, di sela-sela forum Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik, APEC pada 17 November 2022, di Bangkok, Thailand.  Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida melakukan kunjungan mendadak ke Ukraina pada Selasa (21/3/2023). Dia secara tidak langsung terlibat dalam duel diplomasi dengan rival Asia Presiden Cina Xi Jinping yang berkunjung ke Rusia.
Foto: Kyodo News via AP
File foto Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, kiri, dan Presiden Cina Xi Jinping berjabat tangan pada awal pertemuan mereka, di sela-sela forum Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik, APEC pada 17 November 2022, di Bangkok, Thailand. Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida melakukan kunjungan mendadak ke Ukraina pada Selasa (21/3/2023). Dia secara tidak langsung terlibat dalam duel diplomasi dengan rival Asia Presiden Cina Xi Jinping yang berkunjung ke Rusia.

REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida melakukan kunjungan mendadak ke Ukraina pada Selasa (21/3/2023). Dia secara tidak langsung terlibat dalam duel diplomasi dengan rival Asia Presiden Cina Xi Jinping yang berkunjung ke Rusia.

Kedua kunjungan yang berjarak sekitar 800 kilometer ini menyoroti cara berbagai negara berbaris di belakang Moskow atau Kiev selama perang yang berlangsung hampir 13 bulan. Kishida yang akan memimpin pertemuan G7 pada Mei menjadi anggota terakhir kelompok itu yang mengunjungi Ukraina dan bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelenskyy.

Baca Juga

Beberapa jam sebelum Xi dan Putin makan malam pada jamuan makan malam kenegaraan dalam kemewahan Istana Kremlin yang berkilauan, Kishida meletakkan bunga di sebuah gereja di Bucha untuk para korban kota. “Setelah kunjungan ke Bucha ini, saya merasakan kebencian yang kuat terhadap kekejaman,” kata perdana menteri Jepang itu.

"Saya ingin mewakili orang-orang di Jepang, dan menyampaikan belasungkawa terdalam saya kepada mereka yang kehilangan orang yang mereka cintai, terluka akibat tindakan kejam ini," ujar Kishida.

Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Jepang Rahm Emanuel mencatat dua kemitraan Eropa-Pasifik yang sangat berbeda yang dibuka pada Selasa. "Kishida berdiri dengan kebebasan, dan Xi berdiri dengan penjahat perang," ujar Emanuel mengacu pada keputusan Pengadilan Kriminal (ICC) yang mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Putin.

Baik Cina maupun Jepang telah menikmati keberhasilan diplomatik baru-baru ini yang menguatkan kebijakan luar negeri mereka. Jepang telah memperbaiki hubungan diplomatik dengan Korea Selatan akibat tuntutan pascaperang.

Sedangkan Cina berhasil dalam menengahi kesepakatan antara Iran dan Arab Saudi untuk memulihkan hubungan setelah bertahun-tahun ketegangan. Langkah tersebut menunjukkan pengaruh Cina di wilayah yang biasa diisi AS yang telah lama menjadi pemain asing utama.

Kesengitan kedua negara juga terlihat dengan kekhawatiran Jepang atas kemungkinan dampak perang di Asia Timur. Militer Cina dinilai semakin tegas dan telah meningkatkan ketegangan di sekitar Taiwan.

Sikap kedua pemimpin negara itu pun berbeda dalam memberikan dukungan dalam konflik di Ukraina. Jepang sebelumnya telah memberikan Ukraina peralatan tidak mematikan dan pasokan kemanusiaan. Tokyo telah menyumbang lebih dari tujuh miliar dolar AS ke Kiev dan menerima lebih dari 2.000 pengungsi Ukraina, meskipun kebijakan imigrasinya ketat.

Tokyo bergabung dengan AS dan negara-negara Eropa dalam memberikan sanksi kepada Rusia atas invasi tersebut. Sebaliknya, Cina menolak mengutuk agresi Rusia dan mengkritik sanksi Barat terhadap, sambil menuduh NATO dan Washington memprovokasi aksi militer Putin.

"Kami berharap Jepang dapat melakukan lebih banyak hal untuk meredakan situasi daripada sebaliknya," ujar Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Wang Wenbin menanggapi kunjungan Kishida ke Ukraina.

Beijing menegaskan merupakan perantara netral di Ukraina. "Kami mematuhi posisi yang berprinsip dan objektif tentang krisis Ukraina berdasarkan tujuan dan prinsip Piagam PBB," ujar Xi mengatakan setelah pembicaraannya dengan Putin.

Xi menyatakan, Cina berencana untuk berusaha secara aktif mendorong perdamaian dan dimulainya kembali pembicaraan. Dalam pernyataan bersama Putin, kedua negara menekankan perlunya menghormati masalah keamanan yang sah dari semua negara untuk menyelesaikan konflik.

Kedua pemimpin negara itu menggemakan argumen Moskow bahwa mereka mengirim pasukan untuk mencegah AS dan sekutu dalam alinasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengubah negara menjadi anti-benteng Rusia. “Rusia menyambut kesiapan Cina untuk memainkan peran positif dalam penyelesaian politik dan diplomatik krisis Ukraina," ujar pernyataan bersama itu.

"Para pihak menggarisbawahi bahwa dialog yang bertanggung jawab menawarkan jalan terbaik untuk penyelesaian yang langgeng ... dan masyarakat internasional harus mendukung upaya konstruktif dalam hal ini," ujarnya.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement