REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Menjelang bulan suci Ramadhan, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengingatkan bahwa puasa merupakan proses pembentukan ketakwaan yang secara ideal melahirkan spiritualitas utama dan luhur. Menurutnya ibadah puasa tidak boleh hanya menjadi ibadah rutinas tahunan, tetapi mesti ada signifikansi peningkatan kualitas diri setiap umat Islam.
Haedar mengatakan beberapa poin penting terkait nilai-nilai spiritualitas ibadah puasa. Pertama, puasa menjadi momentum untuk semakin dekat dengan Allah.
Haedar menuturkan puasa sebagai bagian dari ibadah mahdlah merupakan aktivitas yang hanya boleh dilakukan karena Allah. Tunduk dan patuh kepada Allah dengan menjalankan ibadah puasa merupakan satu langkah untuk menjadi insan yang baik. Insan yang tidak mungkin tergoda melakukan perkara-perkara yang dilarang agama seperti risywah, namimah, dan madzmumah.
"Orang yang dekat dengan Allah, ia tidak akan menyimpang, tidak akan korupsi, ia tidak akan menyeleweng dan melakukan hal-hal buruk lainnya. Dengan puasa akan terjadi gerakan spiritualitas tertinggi, di mana setiap Muslim akan terjaga hidupnya," kata Haedar dalam keterangannya Selasa (21/3/2023).
Nilai spritualitas yang kedua, Haedar mengatakan, puasa merupakan momentum untuk membiasakan akhlak mulia. Allah mengutus Nabi SAW untuk menyempurnakan akhlak manusia. Puasa merupakan salah satu cara untuk membentuk akhlak yang mulia. Orang yang berpuasa secara sungguh-sungguh, seluruh jiwanya akan tunduk dengan penuh kepasrahan kepada Allah.
Mereka akan senantiasa menyebarkan pesan-pesan kebaikan disertai dengan perilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral.
"Puasa dijadikan sarana untuk menundukkan diri agar kita tidak menjadi orang-orang yang berlebihan, karena puasa mengajarkan kita untuk belajar untuk tidak berlebihan. Sikap hidup mewah bertentangan dengan kebiasaan dan kebaikan puasa maupun ajaran agama secara keseluruhan," ujarnya.
Ketiga, puasa merupakan momentum menjaga persatuan dan persaudaraan. Ia mengungkapkan bahwa orang yang berpuasa pandai mengendalikan diri terutama dari emosi amarah dan kebencian.
Selain itu Haedar mengatakan bahwa orang yang berpuasa juga pandai menjauhi segala bentuk pertengkaran dan permusuhan. Sekalipun terdapat perbedaan paham yang begitu hebat, orang yang berpuasa akan senantiasa cinta damai dan persaudaraan.
Di dalam diri orang yang berpuasa, tidak ada tempat yang tersisa bagi para pemuja amarah dan pemantik konflik.
"Puasa mengajarkan hidup damai, rukun, dan diajarkan untuk hidup bersatu dan bersaudara. Puasa harus melahirkan gerakan sosial kebangsaan yang membuat kita kaum muslim sebagai kekuatan perekat bangsa, dan pembawa perdamaian yang mencegah konflik," ucapnya.
Nilai spiritualitas yang keempat, puasa merupakan momentum untuk hidup penuh toleran. Perbedaan penentuan tanggal untuk hari-hari besar umat Islam, misalnya, tidak perlu menjadi bahan olok-olokan.
"Puasa seharusnya menjadikan diri kita insan yang tasamuh, toleran, membawa pada ukhuwah. Dengan toleran, kita hidup saling menghormati. Maka, para ilmuwan, ulama, mubaligh, dan semuanya, ketika menemui perbedaan, kita harusnya semakin dewasa dan tasamuh," ungkapnya.
Haedar berharap Ramadhan kali ini melahirkan pribadi-pribadi yang luhur dan utama, yaitu menjadi orang yang semakin dekat dengan Allah, terbiasa melakukan perilaku akhlak mulia, senantiasa menjaga persatuan dan persaudaraan, dan membangun kehidupan yang penuh toleran di antara perbedaan.