Jumat 24 Mar 2023 00:55 WIB

Tentara Israel Akui Melakukan Kampanye Medsos Terselubung Saat Perang 2021

Kampanye itu untuk meningkatkan pandangan publik Israel tentang kinerja militer

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Pasukan Israel berpatroli di jalan-jalan dan mencari rumah-rumah selama operasi militer menyusul serangan pelemparan batu terhadap seorang pengemudi Israel di dekat pemukiman Yahudi Allon Moreh, di desa Salem, Tepi Barat, dekat Nablus, Senin, 23 Agustus 2021.
Foto: AP/Majdi Mohammed
Pasukan Israel berpatroli di jalan-jalan dan mencari rumah-rumah selama operasi militer menyusul serangan pelemparan batu terhadap seorang pengemudi Israel di dekat pemukiman Yahudi Allon Moreh, di desa Salem, Tepi Barat, dekat Nablus, Senin, 23 Agustus 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Beberapa hari setelah perang Israel dengan militan Gaza pada 2021, tentara Israel mulai mengerahkan operasi media sosial rahasia untuk memuji kampanye pengeboman militer di daerah kantong pantai tersebut. Militer Israel pada Rabu (22/3/2023) mengakui bahwa, mereka membuat kesalahan ketika meluncurkan kampanye pengaruh rahasia di media sosial dalam upaya untuk meningkatkan pandangan publik Israel tentang kinerja militer Israel dalam konflik tersebut.

Kampanye online ini adalah salah satu dari beberapa langkah kontroversial yang diambil oleh militer Israel dalam perang berdarah selama 11 hari itu. Pertempuran tersebut menewaskan lebih dari 260 warga Palestina dan 13 warga Israel, ketika militer membom wilayah yang dikuasai Hamas dan militan Palestina meluncurkan roket ke Israel.

Harian Haaretz pertama kali mengungkap operasi media sosial pada Rabu. Haaretz melaporkan, tentara Israel menggunakan akun palsu untuk menyembunyikan asal kampanye dan melibatkan audiensi di Twitter, Facebook, Instagram, dan TikTok. Para ahli mengatakan, militer Israel sering menggunakan akun media sosial yang tidak asli untuk mengumpulkan informasi intelijen tentang negara-negara Arab dan Palestina di Tepi Barat.

Namun kampanye sosial media yang digunakan setelah perang di Gaza tersebut menandai pertama kalinya menargetkan warga Israel. Seorang pakar kampanye digital, Uri Kol,  mengatakan, pengungkapan itu dapat mengisyaratkan bahwa tentara telah menggunakan taktik tersebut secara diam-diam terhadap Israel sebelumnya.

“Dengan undang-undang penyensoran ketat militer, tentara selalu menentukan apa yang dipublikasikan dan apa yang tidak. Apa yang kami lihat di sini adalah aspek kecil dari kampanye manipulasi online yang belum pernah kami lihat sebelumnya," ujar Kol.

Akun-akun media sosial yang diunggah oleh militer tersebut mengunggah rekaman dan foto mengenai kehancuran di Gaza dengan tagar "Penyesalan Gaza" dalam bahasa Ibrani. Mereka membual tentang kekuatan militer Israel dalam upaya untuk melawan gambar viral yang menunjukkan salvo roket Palestina yang membombardir Tel Aviv.

Akun-akun tersebut menargetkan orang Israel sayap kanan, termasuk pembawa acara televisi konservatif populer dan politisi seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir. Akun-akun itu juga mengunggah foto dan video di dalam kelompok pendukung Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dengan tujuan menyebarkan pesan tersebut kepada audiens yang simpatik. Unggahan populer dengan tagar Penyesalan Gaza menuai komentar pedas dari orang Israel, seperti "Mengapa bangunan masih berdiri di Gaza?"

 “Ini menunjukkan kerangka berpikir tentara yang ingin meyakinkan kaum muda dan membuat mereka bersemangat untuk perang,” kata Kol.

Militer Israel mengakui bahwa mereka juga mengoordinasikan kampanye dengan influencer media sosial. Militer memberikan foto kepada mereka, dan memerintahkan membuat tagar untuk membicarakan pencapaian militer dan menunjukkan kerusakan yang ditimbulkannya di Gaza.

Laporan Haaretz mengatakan, semua upaya kampanye tentara Israel itu sia-sia.  Tagar tersebut gagal memanfaatkan audiens. Para ahli mengatakan, kampanye pengaruh online yang sukses menggunakan identitas palsu membutuhkan waktu bertahun-tahun dan ratusan ribu dolar untuk mendapatkan kepercayaan para followers. Dalam sebuah pernyataan, militer Israel mengakui bahwa mereka menggunakan sejumlah akun palsu selama sehari untuk meningkatkan eksposur.

 “Dalam retrospeksi, ditemukan bahwa penggunaan akun-akun ini adalah sebuah kesalahan,” kata pernyataan militer.

Militer mengatakan, mereka tidak menggunakan taktik tersebut sejak perang. Militer mengklaim telah mendekati influencer media sosial yang bergabung dalam operasi tersebut dalam kapasitas resmi sebagai unit juru bicara militer.

"Militer Israel berkomitmen pada kebenaran dan mematuhi laporan yang andal dan akurat sebanyak mungkin," ujar pernyataan militer.

Kantor juru bicara militer telah lama memainkan peran kunci dalam membela tindakan militer Israel di pengadilan internasional. Tetapi hubungannya dengan media kadang-kadang tegang, dan taktiknya mendapat kecaman. Termasuk selama perang 2021, ketika dituduh menyebarkan laporan yang menyesatkan di kalangan jurnalis asing.  Laporan-laporan tersebut menunjukkan bahwa invasi darat sedang dilakukan dalam upaya untuk memikat militan Hamas ke dalam perangkap yang mematikan.  Beberapa wartawan langsung diberitahu bahwa invasi telah dimulai.  Militer menyalahkan insiden itu pada "miskomunikasi internal."

Tingkah laku Israel dalam perang semakin mengobarkan ketegangan dan membuat marah media internasional, terutama ketika serangan udara Israel meratakan gedung bertingkat tinggi yang menampung kantor The Associated Press dan Aljazirah di Gaza setelah memberikan waktu satu jam untuk dievakuasi.  Militer mengklaim bangunan itu menampung infrastruktur militan Hamas tetapi tidak memberikan bukti.

Penanganan Israel atas penembakan terhadap jurnalis veteran Aljazirah Shireen Abu Akleh, menjadi titik panas terbaru dalam hubungan antara militer dan wartawan. Awalnya militer Israel menyatakan bahwa Abu Akleh kemungkinan telah dibunuh oleh seorang pria bersenjata Palestina. Namun militer Israel kemudian mengakui seorang tentara Israel kemungkinan besar menembaknya dan membebaskan diri dari tanggung jawab.

Militer menggambarkan penembakan itu sebagai kesalahan selama baku tembak dengan militan Palestina, namun tanpa memberikan bukti. Kesimpulan yang samar-samar itu menuai kecaman tajam dari warga Palestina dan kelompok kebebasan pers. Mereka mencatat bahwa Abu Akleh memakai rompi dengan tulisan Press dan ketika terjadi penembakan daerah itu tampak sepi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement