BOYANESIA -- Pulau Majeti atau yang kini dikenal dengan Pulau Bawean adalah sebuah pulau terpencil di tengah laut yang terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan. Jika Anda mengelilingi pulau ini, kamu hanya membutuhkan waktu sekitar lima jam untuk sampai ke titik semula.
Di pulau ini tidak ada hutan buas, tidak ada harimau, macan, beruang, atau serigala. Hutan Bawean hanya dihuni oleh monyet pemakan buah, rusa Axil kuhli, dan babi hutan yang bersembunyi di kala siang.
Namun, meskipun mungil dan terpencil pulau ini memiliki banyak kisah yang bagi sebagian orang mungkin tidak dapat dipercaya, walaupun mungkin benar adanya. Salah satunya adalah kisah pertemuan gadis kecil dengan makhluk terkutuk. Kisah ini diceritakan dalam novel terbitan Republika berjudul Sang Penakluk Kutukan karya Arul Chandrana.
Makhluk itu bernama Akdong, yaitu makhluk yang bahkan lebih mengerikan dari hewan buas mana pun. Arul Chandrana medeskripsikan makhluk tersebut sedemikian detail, bahwa sosok itu memiliki rambut yang tumbuh jarang-jarang, telinganya kecil karena mengerut, dan wajahnya rusak seluruhnya.
Tidak hanya itu, di wajah Akdong juga tidak ada alis atau bulu mata di sana, hidungnya berpilin, bibirnya bengkak dan keriput, serta mulutnya mirip dengan gambar patung Batara Kala di buku pelajaran. Sementara, pipinya berkerut kasar dan banyak cekungan.
Seorang gadis kecil bernama Ranti tidak pernah berharap bahwa dia akan bertemu dengan Akdong yang ditakuti penduduk desa, dibenci, dihindari, dan diyakini sebagai sumber dari segala malapetaka itu. Namun, pertemuan Ranti hari itu akan menjadi titik awal tragedi berikutnya bagi penduduk Desa Kumalasa.
Ranti merupakan anak seorang tabib yang oleh teman-temannya selalu diolok-olok karena ayahnya dicap sebagai dukun. Padahal, tabib dan dukun mempunyai definisi yang berbeda. Ranti sering melintasi hutan sendirian, namun ia tentu tidak pernah khawatir akan adanya binatang buas. Ia hanya khawatir terhadap sosok Akdong yang sering diceritakan penduduk tersebut.
Makhluk yang diusir penduduk desa puluhan tahun tersebut kini hidup bersama bocah mirip monyet. Bocah tersebut adalah seorang anak laki-laki yang diduga menjadi sumber kekuatan hitam Akdong. Namun, tidak semua yang diceritakan atau dituduhkan oleh penduduk tersebut adalah suatu kebenaran.
Kisah gadis kecil dan makhluk terkutuk ini mencoba mengingatkan kepada kita bahwa jangan mudah percaya pada setiap cerita yang didengar, apalagi menuduh orang semabarangan. Tidak semua yang diceritakan orang banyak adalah kebenaran, kadangkala justru kebenaran itu ada di dalam kisah yang paling jarang diceritakan.
Novel Sang penakluk Kutukan ini bercerita tentang kebencian-kebencian yang selalu diwariskan kepada para penduduk desa, desas-desuk yang meracuni, raja jin dan kekuasaannya, persahabatan dan penghianatan, keluarga dan permusuhan, serta tentu saja kutukan dan perlawanan.
Sebagai penulis asli Bawean, Arul kerap kali memunculkan bahasa asli Bawean dalam setiap percakapan di dalam buku novel ini. Namun, bahasa yang digunakan dalam percapakan tersebut sejatinya bukanlah bahasa orang Bawean menyeluruh, hanya bahasa lokal Desa Kumalasa saja, yang cenderung mengandung huruf vokal 'O'.
Buku ini tidak ditulis seperti halnya novel kebanyakan, karena dalam setiap babnya novel ini tidak diberikan judul-judul khusus. Dengan demikian, kisah-kisahnya mengalir seperti air, membuat pembaca selalu penasaran untuk membuka setiap lembaran baru di halaman selanjutnya.
Dengan membaca novel ini, kamu akan sedikit mengenal tentang keunikan Pulau Bawean. Namun, tentu kamu tidak akan bisa mengenal pulau ini dengan baik tanpa membaca literatur yang lain, tanpa berbicara langsung dengan penduduk asli, atau tanpa menginjakkan kaki langsung di pantainya yang berpasir putih.
Judul : Sang Penakluk Kutukan
Penulis : Arul Chandrana
Penerbit : Republika Penerbit
Cetakan : I, Februari 2016
Tebal : 289 halaman