REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tawaran sistem pembayaran paylater sering ditemukan di beberapa marketplace. Paylater memiliki pola serupa kartu kredit, atau bayar tunda, tetapi berbasis teknologi.
Sekilas, sistem transaksi ini memudahkan dalam berbelanja. Namun, apakah pola transaksi ini diperbolehkan dalam syariat Islam? Ada beberapa pendapat tentang paylater.
Dilansir laman Islam NU pada Selasa (21/3/2023), peneliti bidang ekonomi syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Ustaz Muhammad Syamsudin, mengatakan, pertama, utangan yang diberikan produk paylater termasuk kategori riba qardli (riba utang) yang diharamkan sebab adanya unsur ziyadah (tambahan) yang disyaratkan di muka oleh pihak penerbit paylater kepada konsumennya. Hukum asal dari utang adalah kembalinya harta sejumlah harta pokok (ra’su al-mal) yang diutang, tanpa tambahan. Jika ada syarat tambahan pemberi utang, maka merupakan riba.
Kedua, utangan yang diberikan perusahaan-perusahaan lewat aplikasi paylater bukan termasuk riba yang diharamkan, sebab tambahan tersebut hanya bisa diperoleh lewat penggunaan aplikasi. Karena harus memakai aplikasi, maka tambahan itu termasuk bagian dari akad ijarah (sewa jasa aplikasi). Aplikasi kedudukannya diqiyaskan dengan timbangan yang mau tidak mau harus dilalui, dan keberadaannya dihitung sebagai jasa (ijarah). Misalnya, seseorang memberi utang 90 dinar, tetapi dihitung 10 dinar karena harus melalui jasa timbangan.
Ketiga, mendudukkan akad di atas sebagai akad bai’ tawarruq. Dalam catatan Syamsudin, bila cicilan itu berlaku rata setiap bulan hingga masa jatuh tempo, maka pola transaksi yang terjadi antara konsumen, pedagang, dan perusahaan adalah menyerupai bai’ tawarruq sehingga hukumnya boleh. Apa itu bai’ tawarruq? Di dalam kitab Fathu al-Qadir halaman 213, syarat dari berlakunya bai’ tawarruq ini adalah jelasnya harga.
Selisih pembayaran dijabarkan dalam bentuk cicilan bulanan. Jika mekanismenya berlaku sedemikian rupa, maka tak dapat dipungkiri bahwa itu merupakan transaksi kredit. Masalahnya adalah paylater perusahaan tertentu menerapkan persentase. Jadi, tidak mungkin menggunakan kaidah di atas.
Keempat, ada solusi yang hampir mendekati pandangan di atas, yaitu menjadikannya akad ju’alah (sayembara). Seolah telah terjadi transaksi antara konsumen paylater dengan perusahan lewat jasa aplikasi pada saat pihak konsumen mulai mengaksesnya dan mengontak pihak perusahaan. Contohnya, Anda ingin membeli/menyewa tempat dengan harga sekian. Anda minta tolong diuruskan dengan jaminan memberi fee sekian persen per biaya.