Jumat 24 Mar 2023 11:37 WIB

Larangan Bukber, Dradjad: Persoalannya di Komunikasi Kebijakan

Secara ekonomi kesehatan larangan bukber tidak ada masalah.

Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Hari Wibowo menyebut polemik larangan buka bersama pejabat terletak di persoalan konsistensi kebijakan.
Foto: Ist
Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Hari Wibowo menyebut polemik larangan buka bersama pejabat terletak di persoalan konsistensi kebijakan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Wibowo, melihat polemik larangan pejabat buka bersama adalah soal komunikasi kebijakan. Jika sosialisasi dan komunikasi kebijakannya bagus, polemik ini tidak perlu terjadi.

Dradjad mengatakan agar larangan buka bersama pejabat tidak memunculkan kegaduhan di Ramadhan, maka harus dilihat faktanya.  “Mari kita lepas label politik sebagai oposisi atau pendukung pemerintah. Kita lihat faktanya dengan analisis ekonomi kesehatan. Kebetulan cabang ilmu ini adalah salah satu keahlian saya sejak tahun 1989,” kata Dradjad, Jumat .

Faktanya jumlah kasus harian Covid-19 di seluruh dunia termasuk Indonesia saat ini sangat rendah. Case fatality rate (CFR) dan tingkat hospitalisasi jauh menurun. CFR adalah proporsi jumlah orang yang meninggal dunia dari total orang yg sakit atau menunjukkan gejala penyakit tertentu.

Baca juga : Larangan Pejabat dan ASN Buka Bersama Mengganggu Ibadah Puasa Umat Islam

"Yang paling banyak terjadi adalah kasus Covid-19 subvarian XBB 1.5 atau Kraken dan mutasi lanjutannya. Gejala yang muncul pada pasien jauh lebih ringan dibanding Omicron, apalagi Delta,” papar Dradjad.

Ia mengaku belum lama ini pulang dari Eropa Barat dan India. Sebagaimana di Indonesia, kata Dradjad, jaga jarak fisik tidak terlihat lagi. Hanya sedikit orang yang memakai masker. “Karena pertimbangan kesehatan personal, saya salah satu dari yang sedikit itu. Tapi saya tetap hadir rapat dan jamuan makan, buka-tutup masker ketika makan,” kata ekonom senior INDEF tersebut.

Meski demikian, papar Dradjad, CFR dan hospitalisasi Covid-19 masih agak jauh dari nol. Gejala yang “ringan” pun sebenarnya tidak ringan. Ada pasien yang bercerita  kalau gejalanya lebih berat dari flu berat.

"Di sinilah ekonomi kesehatan masuk. Kita melihat dari sisi kualitas hidup dan ongkos sebuah penyakit. Ongkos ini terkait biaya langsung seperti biaya rumah sakit, maupun hilangnya waktu kerja dan kesempatan ekonomi,” ungkap Dradjad.

Baca juga : Khasiat Dahsyat Sebutir Kurma Bagi Kesehatan

Ia mencontohkan dengan merujuk pengalaman sahabatnya, suami istri dokter spesialis yang sangat berpengalaman. Dikatakannya, mereka sangat disiplin dengan prokes, belum pernah terkena Covid-19. Namun dalam sebuah perjalanan, mereka agak longgar dengan maskernya.

Akibatnya, mereka terinfeksi. Salah satunya dirawat di rumah sakit dua pekan, dan sempat harus memakai ventilator.  Yang satunya isolasi di rumah sekitar 3 pekan. Biaya perawatan di kisaran Rp 100 juta, belum lagi hilangnya penghasilan karena tidak praktek sekitar 1 bulan.

Jadi faktanya, kata Dradjad, Covid-19 masih ada dan ongkos penyakitnya masih besar. Dalam konteks ini, menurutnya, surat dari Menseskab Pramono Anung yang merujuk arahan Presiden itu tidak salah secara ekonomi kesehatan. Karena, dengan larangan itu transmisi virus dan ongkos penyakit diharapkan dapat dikurangi, minimal dari segmen populasi pejabat eksekutif dan keluarganya.

"Jangan lupa, ongkos penyakit dari pejabat eksekutif itu lebih besar dari masyarakat umum. Karena, jika mereka tidak bekerja, pelayanan masyarakat seperti perijinan yang seharusnya sudah diteken jadi tertunda, dan seterusnya. Itu semua ada ongkos hilangnya kesempatan ekonomi,” ungkap Dradjad.

Baca juga : 'Pesta Pernikahan Anak Presiden Boleh, Konser Blackpink Boleh, Kenapa Bukber Dilarang?'

Jadi secara ekonomi kesehatan, larangan bukber pejabat eksekutif itu bisa diterima. Namun yang dipermasalahkan adalah masalah konsistensi. "Mengapa konser dan balapan boleh, tapi bukber tidak?” kata Dradjad.

Konsistensi kebijakan itu sangat penting. Sayangnya, komunikasi kebijakan dari pemerintah tentang kebijakan transisi endemi Covid-19 ini masih lemah, terutama dari Kemenkes dan Kemenkominfo.

Buktinya adalah persepsi inkonsistensi tersebut. Kata Dradjad, jangan salahkan masyarakat dengan persepsi tersebut. Harusnya ada sosialisasi tentang transisi endemi ini lengkap dengan kriteria epidemiologis  dan segmen populasinya.

"Contohnya, bisa disebutkan bahwa bukber, balapan, konser, pertandingan olahraga dan seterusnya adalah kegiatan masyarakat yang diperbolehkan selama transisi, dengan kriteria A B C.  Tapi untuk pejabat di lingkungan eksekutif, dibuat pembatasan A B C,” kata Dradjad menjelaskan.

Baca juga : PKS Duga Pemerintah Khawatir Bukber Jadi Konsolidasi Umat Islam Jelang Pemilu

Jika sudah ada sosialisasi seperti itu, menurut Dradjad, surat dari Pramono Anung tidak akan menjadi bola politik liar. Apalagi, surat itu hanya melarang pejabat dan lembaga eksekutif, yang memang jurisdiksi pemerintah pusat.

"Pejabat dan lembaga yudikatif maupun legislatif tidak diatur. Jadi, jika mbak Puan atau mas Bamsoet mau mengadakan bukber DPR/MPR, ya tidak diatur dalam surat mas Pram itu. Apalagi masyarakat umum, sama sekali tidak dilarang. Bukber di masjid tetap jalan. Jadi, mari kembali fokus ke Ramadhan,” ungkap Dradjad.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement