REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPU RI mengajukan memori banding tambahan dalam proses hukum banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), yang salah satu amarnya memerintahkan penundaan Pemilu 2024. Salah satu poin dalam memori banding tambahan itu adalah meminta Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menangguhkan amar putusan "serta merta".
Komisioner KPU RI Mochammad Afifuddin mengatakan, pihaknya mengajukan memori banding tambahan itu pada Selasa (21/3/2023). Pengajuan dilakukan oleh kuasa hukum KPU, yakni Heru Widodo Law Office.
Terdapat empat poin utama dalam memori banding tersebut. Pertama, mempersoalkan tidak adanya PN Jakpus menawarkan mediasi agar terjadi perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa, yakni KPU RI dan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).
Padahal, kata Afifuddin, majelis hakim PN Jakpus wajib menawarkan mediasi kepada pihak yang bersengketa dalam perkara perdata ini. Kewajiban itu diatur dalam Pasal 3 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016.
Afif mengatakan, lantaran majelis hakim PN Jakpus telah melanggar Perma, maka pemeriksaan perkara yang dilakukan menjadi cacat yuridis. Karena itu, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam tahap banding harus membuat putusan sela yang memerintahkan PN Jakpus melakukan proses mediasi.
"Harus ditetapkan putusan sela untuk dilakukan mediasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (4) Perma 1/2016," kata Afif saat konferensi pers di kantornya, Jumat (24/3/2023).
Poin kedua, permohonan penangguhan pelaksanaan putusan serta merta. KPU meminta Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam putusan selanya menangguhkan amar putusan PN Jakpus soal serta merta.
Untuk diketahui, PN Jakpus pada 2 Maret 2023 tidak hanya memutuskan memerintahkan KPU RI mengulang tahapan pemilu sedari awal alias menunda gelaran Pemilu 2024. Majelis juga menyatakan, "putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad)."
Artinya, Prima sebagai penggugat bisa mengajukan permohonan eksekusi meski proses banding sedang berlangsung. Afif mengatakan, terdapat tiga alasan mengapa pihaknya memohon agar putusan serta merta itu ditangguhkan. Alasan pertama, pelaksanaan pemilu setiap lima tahun sekali merupakan amanat UUD 1945 sehingga tidak boleh ditunda. Alasan kedua, UU Pemilu tidak mengenal istilah penundaan, melainkan hanya pemilu susulan dan lanjutan.
Alasan ketiga, putusan PN Jakpus tumpang tindih dengan putusan lembaga peradilan pemilu. Hal ini terbukti dengan jatuhnya putusan Bawaslu pada 20 Maret yang memerintahkan KPU melakukan verifikasi administrasi perbaikan terhadap Prima. Jika putusan PN Jakpus soal penundaan pemilu dieksekusi, tentu KPU tidak bisa melaksanakan putusan Bawaslu.
Poin ketiga dalam memori banding tambahan adalah KPU meminta Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengoreksi pertimbangan hakim PN Jakpus atas eksepsi KPU. Dalam eksepsinya, KPU menyatakan pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara sengketa proses pemilu. Lembaga yang berwenang adalah Bawaslu.
Poin keempat, KPU meminta Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengoreksi putusan PN Jakpus yang menyatakan KPU melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) ketika melakukan verifikasi administrasi terhadap Prima. KPU yakin sudah melakukan verifikasi secara benar.
Di sisi lain, Prima kini juga tengah menyiapkan kontra memori banding untuk menghadapi banding KPU tersebut.