REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Kelangsungan hidup umat manusia tergantung pada cara orang mengelola air. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menutup konferensi tiga hari tentang sumber daya air global pada Jumat (24/3/2023).
“Semua harapan umat manusia untuk masa depan bergantung, dalam beberapa hal, pada pemetaan arah baru untuk mengelola dan menghemat air secara berkelanjutan,” kata Guterres dalam sambutan penutupnya.
Pengelolaan tersebut termasuk penggunaan air yang rasional untuk pertanian. Guterres mendesak tindakan yang lebih agresif terhadap perubahan iklim dan air harus menjadi pusat agenda politik global.
Konferensi tersebut mencakup banyak janji lisan untuk meningkatkan pasokan air. Namun dalam kegiatan ini hanya sedikit komitmen terperinci yang menerjemahkan ambisi menjadi kehidupan sehari-hari yang lebih baik bagi warga dunia.
“Kami memiliki kebijakan yang begitu indah dan ambisius, tetapi di satu sisi kebijakan itu tidak layak,” kata peneliti senior di lembaga think tank United Nations University Lina Taing.
Taing mengatakan, dalam mendapatkan air bersih dan sanitasi bagi orang-orang, pemerintah global telah sangat keluar jalur. Dia menekankan agar dunia perlu meningkatkan tindakannya sebanyak empat kali lipat.
Sepanjang konferensi, negara-negara yang kekurangan air terutama di negara berkembang mengatakan kepada anggota PBB, tentang kebutuhannya akan bantuan internasional untuk menyediakan air minum dan sistem sanitasi bagi rakyat. “Melakukan perang di dua front secara bersamaan, untuk mengatasi masalah air dan perubahan iklim, bukanlah hal yang mudah, terutama untuk negara pulau kecil seperti Kiribati yang memiliki sumber daya yang sangat terbatas,” kata perwakilan PBB dari negara kepulauan dengan kurang dari 200 ribu orang di tengah Pasifik Teburoro Tito mengaskan negaranya sangat tidak siap untuk menanggapi bencana alam.
Laporan Pengembangan Air Dunia PBB yang dikeluarkan menjelang konferensi menunjukan, 26 persen dari populasi dunia atau sekitar miliar orang tidak memiliki akses ke air minum yang aman. Sedangkan 46 persen atau sekitar 3,6 miliar orang tidak memiliki akses ke sanitasi dasar. Penelitian PBB juga menyatakan, hampir separuh penduduk dunia akan menderita tekanan air yang parah pada 2030.