REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Islam yang memelihara kucing di rumah mungkin bertanya-tanya terkait perlunya produk makanan kucing mendapat sertifikasi halal. Sejumlah produk makanan kucing yang beredar di pasaran pun telah memiliki logo halal pada kemasannya.
Ada juga produk yang mencantumkan label "no pork" alias tidak mengandung babi. Sebenarnya, seperti apa urgensi sertifikasi halal untuk makanan kucing?
Dikutip dari situs resmi halalmui.org, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menjelaskan bahwa sertifikasi halal makanan kucing merupakan salah satu upaya preventif.
Tujuannya, supaya Muslim yang memelihara kucing di rumah tidak bersentuhan dengan hal-hal yang diharamkan. Pasalnya, terkadang seseorang menyentuh makanan kucing secara langsung saat memberi makan peliharaan kesayangan.
"Jika produk tersebut mengandung bahan yang najis, apalagi najis berat, artinya tangan kita pun terkontaminasi oleh bahan haram tersebut," kata Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati.
Auditor senior LPPOM MUI, Diana Mustafa, menjelaskan lebih lanjut soal titik kritis kehalalan produk. Diana mengatakan, makanan kucing memiliki sifat yang hampir sama dengan status bahan untuk kosmetik, yakni penggunaan luar, bukan dikonsumsi secara langsung oleh manusia.
Sebagian produsen makanan kucing mengeklaim bahwa produknya terbuat dari ikan segar pilihan. Bahkan, banyak di antaranya mengklaim produknya terbuat dari 100 persen bahan organik, juga klaim tanpa pengawet dan tidak memuat zat-zat kimia lainnya.
"Ikan segar memang termasuk dalam daftar bahan tidak kritis atau positive list, namun dalam proses pembuatan makanan kucing, ikan segar diolah sedemikian rupa dengan mencampurkan bahan-bahan tambahan, seperti vitamin, protein hewani, asam amino, dan sebagainya," ungkap Diana.
Kandungan protein dan asam amino dalam makanan hewan dapat berasal dari hewan darat atau udara, sehingga harus berasal dari hewan halal yang disembelih sesuai syariah. Sementara, vitamin dihasilkan dari bahan mikrobial, nabati, atau sintetis.
Jika vitamin berasal dari mikrobial, media pertumbuhannya perlu diperhatikan agar terbebas dari unsur najis. Hal ini untuk memastikan bahwa kandungannya suci (terbebas dari najis) sehingga tidak mengotori tangan penggunanya.