REPUBLIKA.CO.ID, BONDOWOSO -- Kemuliaan makhluk di hadapan Allah bukan terletak pada kepatuhannya semata pada perintah Sang Pencipta, melainkan pada nilai "perjuangan" untuk mencapai predikat patuh itu.
Malaikat adalah makhluk Allah dengan predikat paling patuh, bahkan tidak pernah salah. Sebaliknya, manusia yang membawa potensi berbuat salah, justru ditasbihkan sebagai makhluk paling mulia oleh Allah SWT.
Di dalam diri manusia bersemayam dua potensi yang kontradiktif alias bersemayam dua kutub bertentangan. Satu sisi ada kutub kamalaikatan (ada yang menyebut juga keilahian) dan sisi lain ada kutub kebinatangan. Dari dua hal inilah, maka manusia dibekali kekuatan oleh Allah untuk berikhtiar atau lebih tepatnya berperang.
Pertempuran dua kutub itu sejatinya dijalankan oleh jiwa. Karena itu posisi jiwa manusia itu seperti bandul yang setiap saat selalu bergoyang ke kanan (simbol kebaikan) dan ke kiri (kejelekan). Jika diposisikan dalam peta secara fisik, maka jiwa setiap manusia selalu berada di persimpangan jalan.
Rasulullah Saw saat selesai memimpin Perang Uhud, memberi pesan mengejutkan kepada Kaum Muslim bahwa mereka baru saja pulang dari jihad kecil menuju jihad besar. Umat Islam sempat kaget, karena mereka baru menjalani perang berat di Uhud itu. Kemudian mereka bertanya, perang apalagi ya Rasulullah? Nabi menjawab, perang besar itu adalah "jihad melawan hawa nafsu".
Jika Nabi mengumpamakan perjalanan jiwa melawan hawa nafsu sebagai perang besar, hal itu memang menunjukkan bahwa perjuangan "menundukkan" ego itu luar biasa berat, walaupun secara fisik tidak kasat mata.
Fenomena dari dominasi hawa nafsu alias ego atau fenomena keilahian dalam diri seseorang hanya tampak pada perilakunya. Misalnya, jika tingkahnya masih sering merugikan orang lain, maka ia sedang didominasi oleh ego alias ia sedang kalah dalam perang melawan egonya. Meskipun demikian, pembacaan fenomena ini tidak sepatutnya digunakan untuk melihat jiwa orang lain. Lebih bagus digunakan untuk melihat posisi jiwa kita sendiri yang dalam istilah agama disebut sebagai sarana "muhasabah" alias menghisab diri.
Dalam banyak kajian tentang perjalanan jiwa di era saat ini, yang dikenal dengan pembelajaran kesadaran murni, banyak cara bagi seseorang untuk terus-menerus memurnikan jiwa luhurnya agar selalu berada dalam rel keilahian. Dalam konteks agama, puasa adalah salah satu jalan untuk selalu memandu jiwa tetap berada di posisi bandul sebelah "kanan".
Puasa, secara sederhana merupakan ibadah yang mewajibkan seorang Muslim untuk tidak makan dan minum di siang hari, serta tidak berhubungan badan dengan istri juga di siang hari. Puasa mengajarkan seorang Muslim untuk menahan diri dari kemelakatan jiwa pada ego yang cenderung ingin dipuaskan hasrat badaniah lewat makan, minum dan seksualitas.
Dengan syariat bahwa puasa hanya diwajibkan satu bulan dari 12 bulan dalam setahun, maka puasa sebetulnya merupakan bulan pendidikan bagi umat untuk mendidik atau memandu jiwanya agar tidak kalah dalam ombang-ambing atau bingung di persimpangan. Saat puasa, jiwa dipaksa untuk selalu memihak kepada nurani, dengan tanpa memberi "ampun" bagi ego untuk dipenuhi hasratnya. Lapar dan haus adalah godaan nyata dari jihad saat seseorang berpuasa. Di luar Ramadhan, kita juga disunahkan untuk melaksanakan ritual puasa, yang secara hakikat juga menjadi sarana agar manusia menjadi lebih baik.
Karena merupakan sarana pendidikan, maka "buah" dari puasa bukan hanya untuk saat Bulan Ramadhan, apalagi hanya selesai setelah kita masuk waktu adzan Maghrib dan sesudahnya. Perang atas ego setelah waktu berbuka adalah tetap menjaga kesadaran bahwa malam hari bukan saatnya untuk melampiaskan hasrat tertunda saat di siang hari, terutama untuk urusan isi perut. Dengan tidak membiarkan hasrat lidah agar selalu dipenuhi, manusia memberi jeda pada usus untuk berhenti bekerja. Menurut ahli-ahli spiritual, di saat usus beristirahat memproses makanan, pikiran akan lebih jernih dalam memaknai segala sesuatu.
Ibadah puasa menuntun kita untuk membiasakan jiwa lepas dari kebiasaan diperbudak oleh ego. Maka ikhtiar membebaskan jiwa dari tarikan kepada yang tidak fitrah itu seharusnya menghasilkan sesuatu. Bagi jiwa, sesuatu itu tentu bukan bersifat materi, melainkan hal kefitrahan sebagai makhluk terbaik. "Buah" puasa seharusnya menjadi tabungan untuk kita petik pada perjalanan jiwa di bulan-bulan setelahnya, sehingga seorang Muslim pantas menyandang predikat takwa setelah berjuang dalam perang besar di Bulan Ramadhan.
Jika puasa hanya dimaknai sebagai siklus tubuh terkait waktu makan, maka kita tidak akan pernah memiliki buah dari puasa itu. Buah ruhani dari puasa tidak akan pernah ada, ketika seorang Muslim yang berpuasa melampiaskan kungkungan hawa nafsu saat waktu berbuka dan setelahnya. Itulah, seperti yang oleh Nabi Muhammad Saw diingatkan bahwa banyak yang merugi dari orang yang berpuasa, dengan hanya memperoleh rasa haus dan lapar.
Selamat menjalani jihad besar dan berlatih memandu jiwa yang sedang bingung di persimpangan. Pada akhirnya, kita akan menyongsong "kemenangan" menuju Idul Fitri.