REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu teolog Islam terkemuka di Pakistan, Abul A'la Al Maududi, menjelaskan hakikat kalimat tahlil atau Laa Ilaaha Illallah. Dia memulai pemaparannya dengan merujuk pada keadaan manusia sepanjang masa.
Dia menyebutkan, sejarah kehidupan umat manusia dari dulu hingga sekarang menunjukkan bahwa manusia menjadi sesuatu untuk dijadikan sebagai Tuhannya dan disembahnya. Artinya, pengkhayalan terhadap Tuhan telah mengakar dalam jiwa manusia.
"Ada sesuatu yang memaksa manusia untuk menjadi sesuatu sebagai Tuhannya dan disembahnya," jelas Al Maududi dalam Principles of Islam (terj. Abdullah Suhaili, terbitan Alma'arif Bandung 1991).
Mengapa demikian? Al Maududi menjelaskan, manusia sebetulnya lemah dan selalu memiliki kebutuhan dan keinginan. Ini adalah fitrah manusia. Namun, karena kelemahannya itulah, setiap kebutuhan dan keinginannya tidak selalu bisa dipenuhi. Ada kalanya bisa diperoleh, dan ada kalanya tidak.
Itu menunjukkan, ada berbagai hal yang tidak dapat dijangkau oleh kekuasaan manusia. Banyak orang yang sudah berusaha agar dijauhi dari segala malapetaka dan bencana, tetapi ujung-ujungnya tertimpa bencana yang membuat mereka rugi, susah, dan kecewa.
Karena itu pula, Al Maududi menyampaikan bahwa terjadi-tidaknya sesuatu pada diri seseorang bukanlah ranah kekuasaan manusia. Petir, angin topan, tsunami, gempa bumi, binatang-binatang buas, dan berbagai hal lain yang menakutkan, menunjukkan betapa hinanya, lemahnya, dan kecilnya manusia.
Dalam kondisi demikian, manusia tumbuh dengan perasaan bahwa ia hanyalah hamba yang lemah sehingga membutuhkan sesuatu yang lain. Maka tak heran dahulu manusia menyembah patung, matahari, dan benda-benda lain yang tampak, hanya untuk menuruti kebutuhan khayalan manusia atas sesuatu yang dapat melindunginya.
Lalu konsep ketuhanan bergeser menjadi konsep beberapa Tuhan. Ada Tuhan yang menjadi kepala dan memberikan perintah. Kemudian ada Tuhan-tuhan lain pada bidangnya masing-masing. Manusia kala itu menganggap ketuhanan seperti kerajaan di dunia, di mana ada menteri-menteri pada bidang tertentu.
Ketika ilmu pengetahuan manusia meningkat dan kecerdasannya bertambah, bilangan Tuhan menjadi berkurang sedikit demi sedikit. Sadarlah mereka bahwa apa yang disembahnya bukanlah Tuhan, hingga kemudian manusia hanya memiliki satu Tuhan, meski dengan segala tafsiran yang ada.
Sampailah pada kalimat Laa Ilaaha Illallah, yaitu ilmu yang dibawa oleh para Nabi dan para Rasul yang diutus oleh Allah SWT kepada para hamba-Nya pada tiap negara dan zaman. Lalu ditutup oleh Nabi Muhammad SAW.
Kalimat Laa Ilaaha Illallah menunjukkan makna bahwa tidak mungkin ada dua dzat yang menerima sifat-sifat ketuhanan dengan kadar yang sama. Bayangkan ketika ada Tuhan yang mengurus rezeki, dan ada Tuhan yang menjadi Penguasa, kemudian tidak terjalin kerja sama yang baik di antara mereka, hancurlah sudah alam ini. Jika Tuhan tidak bisa mempertahankan ketuhanan-Nya, bagaimana Dia akan memerintah alam ini?
"Segala sesuatu yang dapat dilihat dan dirasa dengan panca indera, atau dapat diketahui, itu tidak memiliki sifat-sifat ini (Ketuhanan)," demikian penjelasan Al Maududi.
Hakikat dari kalimat tersebut ialah konsepsi ketuhanan. Alam yang begitu luas ini tidak sanggup ditimbang manusia baik buruknya. Tidak pula manusia dapat mengetahui awal dan akhir dari alam semesta. Penciptaan yang tidak terhingga banyaknya, dan terus terjadi setiap harinya.
"Tidaklah mungkin Tuhannya, kecuali Tuhan yang tidak mati, tidak terbatas, tidak membutuhkan yang lain, yang menjadi tempat bergantung seluruh makhluk, yang Kuasa atas segala sesuatu, yang Maha Bijaksana tidak pernah salah, Maha Mengetahui," kata Al Maududi memaparkan.