Senin 27 Mar 2023 21:37 WIB

Kemenkes Akui tidak Semua RSUD Bisa Tangani Pasien Gagal Ginjal Akut

RS yang bisa menangani pasien GGA hanya RS vertikal di bawah langsung Kemenkes.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi. Siti mengakui tidak semua RSUD bisa menangani pasien gagal ginjal akut. (ilustrasi)
Foto: Dok Kemenkes
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi. Siti mengakui tidak semua RSUD bisa menangani pasien gagal ginjal akut. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan, tidak semua rumah sakit bisa menangani kasus pasien dengan gagal ginjal akut (GGA) secara langsung. Rumah sakit yang bisa menangani pasien GGA hanya rumah sakit vertikal di bawah langsung Kemenkes.

"Tidak semua RSUD bisa menangani kasus gagal ginjal akut. Misalnya RSUD Tarakan kan bisa, tapi RSUD Kramat belum tentu bisa," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi dalam Peluncuran Kajian Covid-19 TII di Jakarta, Senin (27/3/2023).

Baca Juga

Nadia menuturkan, rumah sakit yang bisa menangani pasien gagal ginjal akut misalnya seperti rumah sakit vertikal yakni RSUP Fatmawati atau RSCM yang dibawahi langsung oleh Kemenkes. Di rumah sakit vertikal, biaya perawatan bagi pasien yang terkena gagal ginjal akut (GGA) akan tetap ditanggung oleh negara melalui BPJS Kesehatan. Dengan demikian, pasien tidak perlu mengeluarkan biaya pribadi.

"Itu masih ditanggung (alat-alatnya juga). Itu termasuk pembiayaan oleh BPJS," katanya.

Hanya saja dari semua perawatan yang diberikan, hanya obat Fomepizole yang dikonsumsi oleh pasien gagal ginjal akut yang tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan karena pengadaan diberikan langsung oleh pihak Kemenkes. Nadia mengimbau kepada pihak yang mengidap gagal ginjal akut untuk tetap melanjutkan perawatan di rumah sakit tempatnya dirujuk dan tidak berganti perawatan di tempat lain.

Dikhawatirkan jika pasien dengan gagal ginjal akut berobat ke rumah sakit lain, akan ada oknum di luar ketentuan Kemenkes yang memanfaatkan hal tersebut untuk meminta bayaran atau tidak memahami kondisi pasien seperti rumah sakit yang telah ditunjuk untuk menangani gagal ginjal akut.

"Kalau dia ke rumah sakit lain, satu mungkin dia (rumah sakit lain itu) tidak yakin ini (pasien apakah benar) benar terkena gagal ginjal akut atau (menyangka pasien hanya) mengaku-ngaku saja," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Nadia mengatakan, santunan bagi para korban gagal ginjal akut masih dalam tahap diskusi oleh sejumlah kementerian terkait yakni Kemenkes, Kementerian Sosial, Kementerian Keuangan dan Kemenko PMK untuk membahas mekanisme pemberian lebih jauh.

"Sebenarnya Kemenkes tidak punya tusi untuk memberikan santunan ya, jadi bukan tugas kita. Tapi Kementerian Sosial masih mempertimbangkan. Itu yang masih dibahas karena masih ada petunjuk teknis, kriteria dan lain sebagainya," ujarnya.

Pekan lalu, Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini mengatakan, Kementerian Sosial (Kemensos) pada saat ini belum memiliki anggaran untuk memberikan bantuan kepada penderita gagal ginjal akut. Risma berpendapat bahwa untuk penanganan gagal ginjal akut, bantuan harus dilakukan berkali-kali.

"Duit dari mana kami? Berat biayanya. Saya saja kalau harus begitu, saya harus minta bantuan ke Kitabisa, Benih Baik untuk biaya itu. Kami ndak ada uangnya untuk terus-menerus," ujar Risma.

Oleh sebab itu, Risma memberitahukan kendala tersebut kepada Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy. Pihaknya pun telah mendapatkan data penerima bantuan dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.

Hingga saat ini, kata Risma, anggaran Kemensos untuk operasional di balai-balai yang dikelolanya hanya sekitar Rp 300 miliar. Sedangkan anggaran untuk penanganan bencana, sudah berkurang hampir 50 persen.

Sehingga, Risma harus berhati-hati dan lebih bijak dalam mengeluarkan anggarannya. Terlebih lagi, fungsi balai-balai Kemensos sudah berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dengan skema multilayanan.

"Setelah saya balik itu, bener bener tempat untuk rehabilitasi. Ada ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), ada anak-anak terlantar, ada anak bermasalah dengan hukum, dan itu jumlahnya banyak di balai kita. Nah saya kan harus hitung, satu tahun anggaran harus cukup, kalau saya kasih ke yang lain nanti, mau makan apa ODGJ dan orang-orang terlantar ini," kata dia.

Mensos Risma mengatakan anggaran tersebut saat ini digunakan untuk pasien luar Jawa yang kurang mampu dalam urusan biaya hidup, untuk mendapatkan layanan kesehatan di Jakarta. Tidak hanya itu, adanya tragedi Kanjuruhan yang tidak terduga membuat anggaran santunan menjadi minus, sehingga dalam memberikan bantuan, Mensos Risma hanya dapat bergantung pada anggaran dari balai.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyampaikan bahwa bantuan gagal ginjal akut (acute kidney injury/AKI) progresif atipikal pada anak tengah diproses di Kementerian Sosial (Kemensos). Pemerintah memastikan korban gagal ginjal mendapatkan perhatian.

 

photo
Infografis Kronologi Pasien Gangguan Ginjal Akut di DKI Jakarta Meninggal Dunia - (Republika.co.id)

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement