REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan bahwa pangan lokal memiliki kandungan protein hewani yang cukup untuk mengatasi permasalahan stunting pada anak-anak di Indonesia. Pemerintah menggencarkan asupan protein hewani untuk mencegah stunting.
"Jadi bagaimana menyiapkan masyarakat sekitar untuk menyediakan pangan lokal yang sebenarnya cukup, untuk mencegah anak menjadi stunting. Karena gizinya adalah protein hewani. Jadi itu yang sedang (Kemenkes) gencarkan satu tahun ini," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi dalam Peluncuran Kajian COVID-19 TII di Jakarta, Senin (27/3/2023).
Nadia menuturkan dalam sisa masa jabatan Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin yang kini hanya tersisa sekitar 1,5 tahun lagi, Kemenkes akan memastikan setiap target sasaran penanganan stunting mengkonsumsi makanan yang mengandung protein hewani. Asupan protein hewani itu bisa didapatkan dengan mudah dan murah oleh setiap keluarga untuk memenuhi gizi ibu hamil dan anak balita, misalnya melalui susu, ikan dan telur.
Di sisi lain, pemenuhan asupan protein hewani juga diimbangi dengan sosialisasi perubahan pola makan keluarga agar takaran setiap zatnya menjadi lebih seimbang, dan mendongkrak kesehatan juga kecerdasan anak bangsa lebih baik lagi.
"Kalau dulu pola makan mending banyak nasi, sekarang tidak. Kita banyakan lauknya, nasinya kita sedikitkan supaya anak Indonesia lebih cerdas, tapi itu tidak harus beli," ucap Nadia.
Nadia menyatakan kedua sosialisasi itu dibarengi pula dengan pernyataan bahwa konsumsi rokok para ayah, bisa mengurangi biaya anak untuk bisa menikmati makanan yang mengandung protein hewani. "Pak Menteri sering sampaikan kalau bapak-bapak sehari merokok satu bungkus, itu uangnya bisa cukup untuk membeli telur buat dua minggu. Itulah yang juga menjadi fokus kita saat ini," katanya.
Nadia menyatakan percepatan penanganan stunting tidak bisa hanya difokuskan pada anak saja. Penanganan harus turut memperhatikan kesehatan calon ibu sejak menjadi remaja putri agar tidak terkena anemia. Sedangkan ketika hamil, calon ibu tidak boleh terkena anemia dan gizinya harus tercukupi dengan baik guna membangun sel-sel penunjang dalam tubuhnya.
"Tidak boleh lupa ibunya karena intervensi anak itu, ditentukan ibu bagaimana ASI eksklusifnya, bagaimana ibu tidak anemia selama menyusui itu juga jadi penting. Kedua, ibu cukup makanannya, ketiga kalau anaknya (kena stunting), kembali ASI eksklusifnya, imunisasinya, juga pola makan protein hewani jadi itu intervensi yang tidak boleh dilewatkan," ucapnya.
Kemudian menanggapi fokus penanganan stunting yang selalu diberikan melalui Pendamping Makanan Tambahan (PMT) di posyandu, Nadia menjelaskan bahwa upaya tersebut merupakan salah satu cara yang paling mudah untuk diberikan pada target sasaran. Misalnya seperti makanan yang sudah terfortivikasi sehingga memenuhi kandungan gizi pada ibu hamil yang mengalami Kekurangan Energi Kronik (KEK) dan balita kurus usia 6-59 bulan yang indikator berat badan menurut panjang badan atau tinggi badan kurang dari standar yang ditentukan.
"Tapi sekarang kita sudah melakukan perubahan, nanti pengawasannya seperti apa karena kita memberi PMT yang sifatnya adalah makanan lokal. Jadi akan dikelola posyandu, posyandu langsung memberikan pada anak (dan ibu hamil) tadi. Kembali lagi bahwa ada beberapa hal pola asuh, kemudian penamatan stunting tadi," ujarnya.