REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran menilai Indonesia masih mempunyai beberapa pekerjaan rumah dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
Ia mencontohkan seperti upaya meningkatkan penelitian dan pengembangan serta pelatihan SDM di sektor kendaraan listrik. Keduanya tidak bisa mengandalkan pembiayaan dari APBN semata.
Oleh karena itu, perlu ada skenario insentif yang lebih baik agar perusahaan kendaraan listrik juga mau melakukan kegiatan dan menyediakan pelatihan bagi pekerjanya maupun pihak luar.
"Selain itu, Indonesia perlu menetapkan prioritas utama dan fokus pada prioritas tersebut. Indonesia perlu menentukan, apakah dia ingin menjadi produsen baterai listrik, produsen kendaraan listrik ataukah keduanya," kata Hasran melalui keterangannya, Selasa (28/3/2023).
Menurut dia, rantai nilai yang dimiliki untuk pengolahan baterai listrik, yang berkontribusi terhadap 35 persen biaya manufaktur kendaraan listrik, sudah sangat kompleks. Mulai dari penambangan dan pemurnian bahan baku, manufaktur komponen, manufaktur satuan sel baterai dan perakitan baterai.
Ini belum termasuk manufaktur kendaraan listrik yang punya rantai produksinya sendiri hingga daur ulang kendaraan. "Masing-masing mata rantai ini bisa menghabiskan triliunan rupiah untuk aspek penelitian dan pengembangan yang memang penting untuk dilaksanakan," kata Hasran.