REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- China diperkirakan telah menghabiskan 240 miliar dolar AS untuk menyelamatkan 22 negara berkembang antara 2008 hingga 2021. Hanya saja jumlahnya terus menurun dari tahun ke tahun karena banyak negara sulit membayar kembali pinjaman yang dihabiskan untuk membangun infrastruktur "Belt & Road".
Perkiraan tersebut disampaikan dalam laporan para peneliti dari Bank Dunia, Harvard Kennedy School, AidData, dan Kiel Institute for the World Economy pada Senin (27/3/2023). Dalam laporan ini menunjukan, hampir 80 persen dari pinjaman penyelamatan dilakukan antara 2016-2021, terutama ke negara-negara berpenghasilan menengah termasuk Argentina, Mongolia dan Pakistan.
China telah meminjamkan ratusan miliar dolar untuk membangun infrastruktur di negara-negara berkembang. Hanya saja jumlah pinjaman telah berkurang sejak 2016 karena banyak proyek gagal membayar dividen keuangan yang diharapkan.
"Beijing pada akhirnya mencoba untuk menyelamatkan bank-banknya sendiri. Itu sebabnya Beijing masuk ke dalam bisnis berisiko pinjaman bailout internasional," kata mantan kepala ekonom Bank Dunia dan salah satu penulis studi tersebut Carmen Reinhart.
Pinjaman China ke negara-negara yang mengalami kesulitan utang melonjak dari kurang dari lima persen dari portofolio pinjaman luar negerinya pada 2010 menjadi 60 persen pada 2022. Argentina menerima paling banyak, dengan 111,8 miliar dolar AS, diikuti Pakistan dengan 48,5 miliar dolar AS, dan Mesir dengan 15,6 miliar dolar AS. Sembilan negara menerima kurang dari semiliar dolar AS.