Selasa 28 Mar 2023 18:37 WIB

Polemik Perpajakan Ramai, Indef: Edukasi Pajak Perlu Diperkuat

Indef merekomendasikan pemerintah untuk melakukan penguatan edukasi pajak.

Petugas membantu wajib pajak yang akan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak di KPP Pratama Pondok Aren, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (31/3/2022).
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Petugas membantu wajib pajak yang akan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak di KPP Pratama Pondok Aren, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (31/3/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Maisie Sagita merekomendasikan pemerintah untuk melakukan penguatan edukasi pajak di tengah kontroversi perpajakan yang menjadi perbincangan publik dalam dunia maya.

"Pemerintah perlu memperkuat saluran edukasi terkait pajak karena ditemukan ketidaksesuaian pemahaman masyarakat dengan mekanisme pajak yang menimbulkan salah pemahaman," kata Maisie dalam diskusi publik Taat Bayar Pajak di Era Fenomena Pejabat Pamer Harta yang dipantau virtual di Jakarta, Selasa (28/3/2023).

Baca Juga

Maisie menuturkan dari analisis data periode 17 Februari sampai 23 Maret 2023 pada media sosial Twitter, kontroversi pajak menimbulkan sekitar 680 ribu perbincangan di internet. Ia mengatakan hampir semua masyarakat di internet mengutarakan keluhan terkait pajak dan perilaku pegawai pajak.

"Cukup banyak anak muda menyuarakan keluhannya. Sekarang anak muda sudah lebih peduli di perpajakan ini dan mereka melihat perlu ada perubahan," ujarnya.

Dalam periode tersebut, terjadi tiga kali puncak perbincangan, yakni terkait kasus penganiayaan yang dilakukan anak dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Kemudian, kinerja Kementerian keuangan di mana narasi mulai berkembang dengan adanya indikasi transaksi mencurigakan Rp 300 triliun dan masyarakat mulai menceritakan pengalamannya untuk penarikan pajak untuk berbagai macam barang. Selain itu, ada tiga isu terkait pajak yang paling disorot atau menjadi perhatian publik yakni perilaku pejabat yang pamer harta, indikasi adanya pencucian uang, dan menerima hadiah tapi harus bayar pajak.

Sebanyak 13 ribu dari 680 ribu perbincangan menyuarakan ajakan tidak bayar pajak. Walaupun banyak keluhan, tapi bukan berarti masyarakat tidak mau bayar pajak. Meski begitu, lanjut Maisie, pemerintah harus segera mengevaluasi kinerja lembaga pengelola pajak agar narasi untuk tidak bayar pajak tidak semakin meluas.

Di samping itu, publik mempertanyakan barang-barang apa saja yang dipungut pajak dan barang-barang lain yang bebas dari pungutan pajak. Untuk itu, diperlukan edukasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat.

"Publik itu sekarang bingung mengapa suatu barang hadiah yang konteksnya itu gratis didapatkannya itu juga bisa dikenai pajak," ujarnya.

Sementara ekonom senior Indef Faisal Basri mengatakan, meskipun ada banyak keluhan terkait pajak, namun rakyat Indonesia tetap menjalankan kewajibannya untuk membayar pajak.

"Sedemikian mualnya rakyat dengan perilaku pejabat itu maka muncul civil disobidience atau pembangkangan publik, publik secara kolektif mogok bayar pajak. Kita jauh dari sana, rakyat Indonesia itu pemaaf sekali," tuturnya.

Ia mengatakan, sekalipun sejumlah orang tertentu enggan membayar pajak atau bertekad untuk tidak bayar pajak, namun mereka tidak bisa mengelak dari membayar pajak.

"Negara punya kemampuan luar biasa untuk memaksa warganya membayar berbagai pungutan pajak," tuturnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement