REPUBLIKA.CO.ID, NANJING -- Mantan Presiden Taiwan, Ma Ying-jeou pada Selasa (28/3/2023) melakukan kunjungan awal bersejarah ke Cina daratan. Dalam kunjungan yang dikritik partai berkuasa Taiwan, Ma mengatakan orang-orang di kedua sisi Selat Taiwan adalah etnis Tionghoa dan memiliki nenek moyang yang sama.
Ma, yang menjabat presiden dari 2008-2016, adalah mantan presiden Taiwan pertama yang mengunjungi Cina daratan sejak pemerintah Republik Cina yang lebih demokratis kalah dan melarikan diri ke Pulau Taiwan pada 1949 pada akhir perang saudara dengan Komunis.
Kini Ma berkunjung di tengah ketegangan yang meningkat. Beijing menggunakan cara politik dan militer untuk mencoba dan menekan Taiwan yang diperintah secara demokratis untuk menerima kedaulatan Cina.
Partai Progresif Demokratik Taiwan mempertanyakan mengapa Ma berkunjung tepat setelah Cina mengambil sekutu diplomatik Taiwan lainnya, Honduras, pada Ahad lalu. Artinya, hanya tinggal 13 negara yang menjalin hubungan diplomatik secara resmi dengan Taiwan.
Dalam pernyataan Ma, sesaat setelah tiba di kota Nanjing, Cina timur, di Mausoleum Sun Yat-sen makam di mana itu adalah tokoh politik utama Cina dan Taiwan, karena menggulingkan kekaisaran Cina terakhir pada tahun 1911 dan mengantar sebuah republik, Ma memuji kontribusi Sun.
"Orang-orang di kedua sisi Selat Taiwan adalah orang Cina, dan keduanya keturunan Yan dan Kaisar Kuning," kata Ma, dalam komentar resminya dilansir dari Reuters, Selasa (28/3/2023).
Ma menggunakan kata-kata dalam bahasa Tionghoa yang berarti orang-orang dari etnis Tionghoa, daripada mengacu pada kebangsaan mereka. Keturunan Yan dan Kaisar Kuning adalah ungkapan yang mengacu pada nenek moyang yang sama bagi orang Tionghoa. Walaupun kebanyakan orang Taiwan tidak lagi mengidentifikasi sebagai orang Tionghoa, menurut jajak pendapat.
Sun secara resmi masih dianggap sebagai bapak Republik Cina, yang tetap menjadi nama resmi Republik Taiwan. Sun juga dipuji oleh Partai Komunis atas penggulingan dinasti Qing, tetapi pemerintah di Beijing dan Taipei tidak saling mengakui.
Kunjungan Ma adalah bagian dari sosialisasi partai oposisi utama Taiwan, Kuomintang (KMT), ke Cina daratan dengan harapan dapat mengurangi ketegangan. KMT secara tradisional mendukung hubungan dekat dengan Cina daratan, tetapi dengan tegas menyangkal pro-Beijing.
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen telah berulang kali menawarkan pembicaraan dengan Cina, tetapi ditolak, karena Cina menganggapnya separatis. Dia mengatakan hanya orang Taiwan yang bisa memutuskan masa depan mereka.
Ma, seorang anggota senior KMT, mengatakan dia mengharapkan perdamaian. "Kami sangat berharap kedua belah pihak akan bekerja sama untuk mengejar perdamaian, menghindari perang, dan berusaha untuk merevitalisasi China," katanya, lagi-lagi menggunakan ungkapan yang mengacu pada orang Tionghoa sebagai etnis daripada kebangsaan. "Ini adalah tanggung jawab yang tak terhindarkan dari orang-orang Cina di kedua sisi Selat, dan kita harus bekerja keras."
Ma tidak dijadwalkan untuk bertemu dengan pemimpin senior Tiongkok mana pun dalam perjalanan ini. Pertemuan terakhir, dirinya dan Presiden Cina Xi Jinping terjadi di Singapura pada 2015.