REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengusulkan, adanya satu pelabuhan khusus bagi barang impor terutama untuk produk tekstil dan pakaian. Hal itu guna mengantisipasi penyelundupan. Dengan begitu, berbagai produk impor tidak bisa langsung masuk ke pasar, khususnya pasar di Jawa.
"Sudah saatnya Indonesia memiliki satu pelabuhan khusus untuk barang-barang impor," ujar Teten usai menyaksikan pemusnahan barang bukti pakaian bekas ilegal hasil operasi penegakan hukum gabungan Bareskrim Polri dan Ditjen Bea Cukai Kemenkeu di di Tempat Penimbunan Pabean (TPP) Cikarang, Jawa Barat, Selasa (28/3/2023).
Ia menyarankan, lokasi berlabuhnya produk impor itu di Sorong, Papua. Jadi dari Sorong baru bisa masuk ke pelabuhan lain di Jawa. Maka, secara harga, produk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) tetap bisa kompetitif dengan produk impor.
"Sah kita mengatur seperti itu. Tujuannya melindungi produk lokal agar lebih kompetitif," tuturnya.
Teten pun berharap ada restriksi terhadap produk impor karena pasar luar juga memberlakukan restriksi terhadap produk impornya demi memperkuat produk lokal mereka. Menurutnya, peraturan impor di Tanah Air terlalu longgar.
"Kita ini terlalu longgar. Saya usul ke Mendag, termasuk yang impor legal, kita minta juga ada restriksi. Barang kita di luar sana juga banyak dihambat, salah satunya dengan isu lingkungan dan sebagainya," tegas dia.
Dia menambahkan, jangan terlalu banyak pintu masuk bagi produk impor. Jika ditempatkan di satu lokasi saja, kata dia, akan lebih mudah mengontrolnya.
"Jadi, kalau ada yang mau masuk ke pelabuhan lain, bisa dipastikan itu ilegal," ujarnya.
Harus diakui, sambung dia, China mempunyai bahan baku untuk semua produk tekstil dan pakaian jadi, sehingga Indonesia cenderung susah bersaing dengan produk mereka. Meski begitu, lanjutnya, dengan pemberlakuan restriksi produk lokal bisa dilindungi. Teten menyebutkan, unrecorded impor termasuk impor ilegal pakaian dan alas kaki jumlahnya sangat besar, rata-rata 31 persen total pasar domestik, atau tidak terlalu jauh berbeda dengan impor legal.
Pada 2020, unrecorded impor atau impor yang tidak tercatat, jumlahnya lebih besar yaitu mencapai Rp 110,288 triliun dibandingkan impor legal yang sebesar Rp 104,6 triliun. "Keberadaan unrecorded impor ini mengganggu produksi domestik yang cenderung menurun sejak 2019 dan tidak memengaruhi impor pakaian legal termasuk China yang terus meningkat sejak 2020," jelas Menkop.
Maka, Teten menyebutkan, langkah perlindungan UMKM saat ini sangat tepat. Jadi di sisi hulu diberantas impor ilegal dan di sisi hilirnya diberikan advokasi dan sosialisasi tentang Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia, agar masyarakat cinta dan beli produk dalam negeri.
"Langkah penegakan hukum ini harus terus berlanjut. Sampai menimbulkan efek jera terhadap para penyelundupnya," tegasnya.