REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Benny K Harman, Arsul Sani, dan Arteria Dahlan hadir langsung dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD. Kehadiran mereka dalam rangka menjawab tantangan Mahfud yang dilontarkan lewat akun Twitter pribadinya.
Benny sendiri balik menantang Mahfud untuk membuka secara terang-benderang dugaan transaksi mencurigakan sebesar Rp 394 triliun. Di mana dari transaksi tersebut, ada indikasi tindak pidana pencucian uang.
"Saya menantang supaya Pak Mahfud buka, supaya buka sejelas-jelasnya apa yang Bapak sampaikan itu tidak menjadi pertanyaan atau spekulasi atau analisis, analisa di publik. Spekulasi itu sangat jelek," ujar Benny dalam RDPU dengan Mahfud, Rabu (29/3).
Sebab, ia menjadi salah satu pihak yang curiga dengan pengungkapan transaksi mencurigakan yang pertama kali diungkap Mahfud. Salah satu kecurigaannya adalah motif politik Mahfud dalam pengungkapannya.
"Sekali lagi, apabila tidak ada penjelasan terbuka soal ini, jadi bukan judgement yang sifatnya final, hipotetik apa yang saya sampaikan. Apalagi setelah Ibu Sri Mulyani menyampaikan juga secara terbuka bantahan atas apa yang Bapak Mahfud sampaikan, maka rakyat bingung," ujar Benny.
Sementara itu, Arsul merasa tak ada masalah personal dengan Mahfud. Pemanggilan Mahfud oleh Komisi III juga dalam rangka DPR menjalankan fungsi pengawasan terkait dugaan tindak pencucian uang yang melibatkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Namun selama ini, transaksi tersebut seakan menjadi ajang saling bantah antara Mahfud, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Apalagi, Sri Mulyani kepada Komisi XI menyampaikan data yang berbeda.
"Persoalannya, ketika apa yang tidak diatur digunakan, sepanjang bawa manfaat tidak timbulkan kontroversi, tidak apa-apa. Tapi ketika digunakan oleh fungsionaris pemerintah bantah-bantahan, saya tidak bayangkan, biasa kita bantah-bantahan di DPR, tapi pemerintah harus satu," ujar Arsul.
"Tekad kita sama agar semua TPPU dan asalnya bisa diproses hukum. Tidak seyogyanya, tidak hanya dapat tepuk tangan dan jempol netizen, apalagi timbulkan gaduh," jelasnya Wakil Ketua MPR itu.
Mahfud MD pun meminta agar tidak ada yang menghalangi penyidikan maupun penegakan hukum. Terutama terkait dengan dugaan transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Saudara jangan gertak-gertak, saya bisa gertak juga. Saudara bisa dihukum menghalang-halangi penyidikan, penegakan hukum," ujar Mahfud dalam RDPU.
Mahfud mengungkapkan bahwa kasus serupa pernah terjadi. Pada saat itu pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, berusaha menghalangi penegakan hukum. Mahkamah Agung (MA) lantas memperberat hukuman Fredrich menjadi 7,5 tahun dari tujuh tahun.
Ia mengemukakan hal itu ketika merespons pernyataan anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan yang menyebutkan bahwa laporan PPATK soal transaksi mencurigakan itu seharusnya tidak boleh diumumkan ke publik. Pasalnya, UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan ada ancaman pidana 4 tahun bagi yang membocorkan.
"Beranikah Saudara Arteri bilang begitu kepada Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Pak Budi Gunawan? Pak Budi Gunawan itu anak buah langsung Presiden, bertanggung jawab bukan anak buah Menkopolhukam,melainkan setiap minggu laporan resmi info intelijen kepada Menkopolhukam," katanya menambahkan.