REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang juga Sekretaris Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Ivan Yustiavandana mengungkapkan, pihaknya menemukan indikasi transaksi keuangan mencurigakan sebesar Rp 189 triliun pada periode 2014-2016 di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Setelah itu, PPATK kembali menemukan transaksi keuangan mencurigakan sebesar Rp 180 triliun pada periode 2017-2019. Dari situ, PPATK melakukan analisis dan menemukan pola transaksi lewat perubahan identitas.
"Subjek terlapor tadi melakukan pola transaksi dengan pengubahan entitas, tadinya dia aktif di satu daerah, kemudian dia pindah ke tempat lain. Tadinya menggunakan nama tertentu kemudian menggunakan nama lain," ujar Ivan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR, Rabu (29/3/2023).
Dari perubahan identitas tersebut, PPATK menyadari bahwa oknum tersebut sadar adanya pemeriksaan yang dilakukan pihaknya. Selain itu, ia juga mengungkapkan adanya perusahaan cangkang dalam dugaan tindak pidana pencucian uang di Kemenkeu. Jelasnya, terdapat satu oknum yang diduga memiliki lima hingga delapan perusahaan cangkang yang dijadikan sebagai alat pencucian uang.
"Dalam daftar list-nya itu selain oknum, kami sampaikan juga banyak perusahaan. Misalnya oknumnya satu, tapi perusahaannya lima, tujuh, delapan, dan seterusnya " ujar Ivan.
Laporan terkait dugaan perusahaan cangkang itu merupakan salah satu data terkait transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kementerian Keuangan. Di mana nilai transaksinya sebesar Rp 35.548.999.231.280.
Transaksi tersebut melibatkan 461 entitas dari aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu, 11 entitas dari ASN kementerian/lembaga lain, dan 294 entitas berasal dari non-ASN.
"Karena modus pelaku TPPU itu kan selalu kita bicara, TPPU kan bicara proxy crime, orang yang melakukan tindak pidana selalu melakukan tangan orang lain, bukan diri dia sendiri," ujar Ivan.
Dalam rapat yang sama, Menkopolhukam Mahfud Md sendiri membagi ke tiga kelompok terhadap laporan hasil analisis (LHA) PPATK terkait transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun. Pertama adalah transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu.
Nilai transaksi di kategori pertama itu adalah sebesar Rp 35.548.999.231.280. Transaksi tersebut melibatkan 461 entitas dari aparatur sipil negara (ASN), 11 entitas dari ASN kementerian/lembaga lain, dan 294 entitas berasal dari non-ASN.
"Transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kementerian Keuangan, kemaren Ibu Sri Mulyani di Komisi XI hanya Rp 3 triliun, yang benar 35 triliun," ujar Mahfud.
Kategori kedua adalah transaksi keuangan yang mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pegawai lain. Nilai transaksi di kategori tersebut sebesar Rp 53.821.874.839.402 triliun.
Nilai transaksi tersebut melibatkan 30 entitas dari ASN Kemenkeu. Selanjutnya dua ASN dari kementerian/lembaga lain, dan 54 non ASN.
Kategori terakhir adalah transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu. Nilai transaksinya sebesar Rp 260.503.313.306.
Nilai tersebut hanya melibatkan 222 entitas dari non-ASN. "Sehingga jumlahnya sebesar 349 triliun, fix," tegas Mahfud.