Kamis 30 Mar 2023 10:07 WIB

Ramadhan Dinilai Waktu Terbaik untuk Raih Tangga Kemuliaan Lebih Tinggi

Puasa di bulan Ramadhan sejatinya lebih dari sekadar menahan lapar dan haus.

Ilustrasi Ramadhan
Foto: Pixabay
Ilustrasi Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Semarak Ramadhan saat ini menghampiri umat Islam di seluruh dunia. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam tentunya memiliki kekhususan tersendiri dalam menyambut datangnya Ramadhan. Mulai dari tradisi membangunkan sahur hingga tradisi ngabuburit yang kerap dijumpai ketika menunggu datangnya waktu berbuka puasa.

Ciri khas masyarakat Indonesia dalam menghidup-hidupkan suasana Ramadhan ini diharapkan tidak melupakan esensi dari Ramadan itu sendiri, yakni sebagai kesempatan seorang hamba untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya. Juga sebagai momentum untuk membumikan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin.

Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (PP Lesbumi) PBNU, Gus Candra Malik menjelaskan bahwa orang yang beriman haruslah bersyukur ketika berjumpa dengan bulan Ramadan karena diberikan kesempatan untuk naik ke tingkatan diri yang lebih tinggi.

“Puasa adalah anugerah yang luar biasa besar dari Allah kepada manusia untuk menapaki jenjang anak tangga kemuliaan menuju derajat yang lebih tinggi, bahkan setinggi-tingginya hingga yang paling tinggi, yaitu derajat takwa kepada Allah. Oleh karena itu, setiap mukmin yang dikaruniai kesempatan berjumpa dengan Ramadan selayaknya ia bersyukur dan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk mencapai ketakwaan,” ujar Gus Candra Malik, Rabu (29/3/2023).

Pria yang memiliki nama lengkap Hartawan Candra Malik ini menambahkan, puasa di bulan Ramadhan sejatinya lebih dari sekadar menahan lapar dan haus. Nafsu yang selalu ada pada tiap manusia juga harus dikendalikan demi sempurnanya ibadah puasa yang dilaksanakan.

“Pada hakikatnya, berpuasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, serta berhubungan seksual dengan pasangan di siang hari. Lebih dari itu, berpuasa adalah menahan diri dari godaan hawa nafsu yang dirangsang oleh penginderaan kita terhadap hal-hal di luar diri. Oleh sebab itu, berpuasa sebaiknya juga merupakan ikhtiar menahan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan yang dapat membatalkan puasa," kata Gus Candra.

Menurutnya, menunaikan ibadah puasa Ramadhan di Indonesia bisa dikatakan memiliki corak tersendiri jika dibandingkan dengan negara lain. Hal ini berhubungan dengan Indonesia yang terdiri dari banyak suku, agama, dan kepercayaan. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia seharusnya sudah terbiasa dalam menghadapi perbedaan yang ada.

Gus Candra Malik yang juga menjadi pengasuh Pondok Pesantren Asy-Syahadah, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, juga berpesan bahwa umat Islam harus tetap mengedepankan cara yang santun dalam menyikapi perbedaan. Apalagi jelas Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin atau rahmat bagi seluruh alam.

"Perbedaan pendapat adalah rahmat. Oleh karena itu, pertama, kita harus mensyukuri perbedaan pendapat tersebut. Kedua, kita sampaikan pendapat dengan cara yang baik, tak perlu perdebatan apalagi disertai kekerasan dan pemaksaan kehendak. Dan, ketiga, kebebasan berpendapat dilindungi oleh undang-undang sehingga selayaknya kita menghargai perbedaan pendapat itu," katanya.

Gus Candra pun menyoroti tentang masuknya awal Ramadhan di tahun ini yang berbarengan dengan perayaan Nyepi. Ia berpesan agar momentum ini bisa dimaknai oleh masing-masing umat yang merayakan dengan semakin mendekatkan diri kepada Tuhannya.

“Perayaan Nyepi mengajarkan kepada umat Hindu dimanapun ia berada, bahwa manusia perlu menyediakan ruang dan waktu bagi dirinya untuk mengambil jarak dari hal-hal yang bersifat duniawi untuk sejenak merasakan keberadaan dirinya sendiri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta dan Tuhan. Demikian pula Ramadan, yang juga menghendaki umat Islam untuk menahan diri dari godaan hawa nafsu dalam perjalanan menuju ketakwaan. Sikap saling asah, asih, dan asuh antarumat beragama menjadikan kekhusyukan suasana ibadah lebih terjamin. Sikap toleran harus terus dilestarikan,” terangnya.

Akhir kata, Gus Candra Malik mengajak untuk memanfaatkan Ramadhan kali ini dengan sebaik-baiknya. Sangat disayangkan apabila tidak memanfaatkan Ramadhan yang datang sebagai ajang peningkatan kualitas diri menjadi lebih baik lagi. Apalagi manusia tidak akan pernah mengetahui, apakah usianya dapat menjumpai Ramadan berikutnya.

“Secara pribadi, kita tidak pernah tahu apakah kita akan bertemu dengan Ramadan tahun depan. Oleh karena itu, sebaiknya kita benar-benar memanfaatkan momentum Ramadan saat ini untuk taubatan nasuha, memperbaiki diri, berikrar tidak mengulangi kesalahan dan kekhilafan yang sama, serta berharap dapat mencapai tujuan menjalankan kewajiban berpuasa di Bulan Ramadan, yaitu supaya kita bertakwa kepada Allah SWT," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement