REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Sejumlah tantangan dihadapi jika pemilu dilakukan secara elektronik. Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Hamdan Kurniawan, pemilu elektronik membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
"Ada persoalan anggaran yang pasti lebih besar," kata Hamdan dalam Ramadhan Public Lecture di Masjid Kampus UGM, Rabu (29/3/2023) malam.
Ia mencontohkan anggaran pilkades di Sleman yang menggunakan sistem e-voting yang mencapai Rp 40 miliar. Angka tersebut hampir sama dengan anggaran pilkada di seluruh kabupaten.
"Itu biayanya lebih besar daripada biaya pilkada di seluruh kabupaten itu. Hanya untuk pilkades. Itu dari sisi biaya," ujarnya.
Kemudian dari sisi jaringan internet, Hamdan menilai jaringan internet di Indonesia masih belum merata. Dikhawatirkan hal tersebut memunculkan persoalan bagi daerah terluar.
"Kami saja menggunakan teknologi informasi sistem informasi misalnya situng sistem penghitungan suara atau sistem yang kemarin kita pakai untuk pilkada itu ada banyak problem ya terutama teman-teman di daerah terluar terdalam dan seterusnya itu yang kemudian data tidak segera masuk dan kemudian dibantu dengan manual," jelas dia.
Tantangan lain menurut Hamdan adalah soal kepercayaan (trust). Kepercayaan masyarakat dinilai penting agar tidak ada anggapan yang mengatakan sistem elektronik bisa diciptakan untuk memenangkan kandidat tertentu.
"Apakah masyarakat kita itu percaya dengan penggunaan teknologi itu dan kemudian bisa menerima hasilnya, karena ada banyak kecurigaan ketika kemudian dari banyak orang ya dari beberapa masyarakat itu yang wah ini jangan-jangan teknologinya dikibuli untuk memenangkan calon tertentu. Jadi ini yang saya sebut sebagai tantangan yang perlu diurai, perlu kemudian dibedah secara bersama-sama apakah tantangan-tantangan itu sebetulnya bisa kemudian diselesaikan," ungkapnya.