REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Forum Profesor Hukum Israel untuk Demokrasi mengatakan, perubahan yang diperkenalkan oleh pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memvalidasi klaim bahwa Israel mempraktikkan apartheid. Forum yang mewakili 120 profesor hukum terkemuka di Israel itu memvalidasi praktik apartheid dalam makalah posisi berjudul Implications of the Agreement Subordinating the Civil Administration to the Additional Minister in the Ministry of Defence.
Forum ini adalah kelompok ahli ad hoc dan sukarela tentang hukum Israel, khususnya hukum publik Israel. Di bawah perjanjian pembagian kekuasaan yang ditandatangani pada Februari antara faksi parlementer Likud dan faksi Zionisme Religius, Netanyahu setuju untuk mengalihkan tanggung jawab dan pengelolaan wilayah pendudukan Tepi Barat ke tangan sipil.
Kesepakatan tersebut menetapkan bahwa pemimpin sayap kanan faksi Zionisme Religius, Bezalel Smotrich, akan diberikan otoritas khusus atas wilayah pendudukan Palestina.
"Administrasi Sipil adalah tangan sipil dari pemerintahan militer. Di bawah hukum internasional, ini adalah satu-satunya cabang yang seharusnya mengatur Tepi Barat. Menundukkan Administrasi Sipil kepada otoritas sipil (Kementerian Pertahanan) merupakan pelanggaran hukum internasional, khususnya Peraturan Den Haag 1907," ujar pernyataan para profesor, dilaporkan Middle East Monitor, Kamis (30/3/2023).
Kekhawatiran atas proposal pembagian kekuasaan diajukan oleh pakar hukum senior ke dinas keamanan Israel sejak Januari. Para pakar hukum itu memperingatkan agar tidak mengalihkan otoritas atas Coordination of Government Activities in the Territories (COGAT) ke Smotrich.
Sejumlah kelompok hak asasi manusia telah menyimpulkan bahwa Israel mempraktikkan apartheid. Praktik ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dapat diadili di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Israel dan pendukung negara pendudukan menolak bahwa mereka mempraktikkan apartheid terhadap warga Palestina. Bahkan mereka melontarkan tuduhan anti-Semitisme kepada siapa saja yang menggunakan istilah apartheid untuk menggambarkan Israel.
"Perjanjian tersebut merupakan tindakan terbuka dan formal yang memberikan validitas pada klaim bahwa praktik Israel merupakan apartheid, yang dilarang berdasarkan hukum internasional," ujar pernyataan para profesor hukum itu.