REPUBLIKA.CO.ID,DUBAI — Ramadhan adalah bulan spiritual yang melambangkan dedikasi, refleksi, dan disiplin. Pada bulan suci ini, umat Muslim merenungkan apa yang telah dilakukannya sepanjang tahun ini, kemudian mulai meningkatkan perjalanan spiritual mereka.
Semangat Ramadhan di Uni Emirat Arab (UEA) tampaknya juga merasuki ekspatriat non-Muslim. Banyak dari mereka yang juga ikut menyemarakkan Ramadhan dengan berpuasa bersama.
Salah satunya yang dilakukan oleh mahasiswa Belanda, Jayden Vermeulen (16 tahun), yang sudah ikut berpuasa selama empat tahun pada bulan Ramadhan.
“Saya menantikan ini. Banyak teman saya yang beragama Islam dan saya suka berpuasa bersama mereka. Ini adalah cara saya menunjukkan rasa hormat kepada negara tempat saya tinggal dan teman-teman saya. Tetapi, lebih dari segalanya, puasa membantu saya untuk memperlambat dan memiliki banyak kedamaian mental,” ujar Vermeulen dilansir dari Gulf News, Jumat (31/3/2023).
“Saya yakin jika seseorang bisa berpuasa dan tidak berbuka, mental kita kuat. Itu memberi kami kepercayaan diri untuk mencapai apa pun yang kami inginkan,” katanya.
Vermeulen mengaku pernah merasa sulit untuk pertama kali berpuasa, khususnya pada dua hari pertama pada bulan Ramadhan. Namun, selanjutnya tubuhnya sudah bisa mengikuti ritme berpuasa. “Dan saya selalu merasa lebih baik setelah bulan Ramadhan,” ujar Vermeulen.
Vermeulen menjalankan puasa seperti Muslim lainnya. Dia bangun jam empat pagi untuk makan dan minum. Kemudian dia pergi tidur lagi agar ketika sekolah bisa segar kembali.
Keluarganya yang non-Muslim memang tidak ikut berpuasa, tetapi ikut menghormati mereka yang berpuasa. Termasuk mendukung anaknya yang ikut berpuasa bersama teman-teman Muslimnya.
Ekspatriat Kristen Filipina di Dubai, Gina Valbuena, yang merupakan anggota aktif parokinya di Dubai, juga mengikuti puasa Ramadhan. Dengan berpuasa, Gina bisa sekaligus melakukan diet, membangun kekuatan mental, kesabaran, dan ketahanan.
“Bagi umat Kristiani, masa prapaskah sedang berlangsung. Kita melepaskan sesuatu yang sangat kita cintai. Tapi, kali ini saya memutuskan untuk tetap berpuasa seperti umat Islam selama Ramadhan,” kata wanita pemilik salon dan spa itu.
Ekspatriat Inggris keturunan Zimbabwe, Zee Mashenge (49), adalah seorang guru sekolah menengah juga berpuasa selama Ramadhan. Ia pindah ke UEA pada 2019 dari Inggris dan sambutan pertama yang ia terima dari saudara-saudara Muslim sangat hangat dan bersahabat. Itu membuatnya begitu mudah untuk berasimilasi ke dalam budaya dan agama yang tidak sepenuhnya ia pahami.
“Sejak tahun kedua saya di UEA, saya membuat keputusan untuk berpuasa selama Ramadhan sebagai solidaritas dengan komunitas Muslim tempat saya tinggal dan bekerja,” ujar Mashenge.
Mashenge menambahkan bahwa puasa selama Ramadhan adalah cara yang bagus untuk memahami sepenuhnya apa yang dirasakan umat Islam selama puasa selama sebulan.
“Ketika saya berpuasa untuk beberapa hari pertama, saya sungguh berjuang menahannya. Kemudian tubuh saya mulai terasa jauh lebih ringan. Kepalaku juga lebih ringan. Saya menikmati tantangan dan saya senang melihat sepanjang bulan. Itu memberi saya waktu untuk membaca Alkitab, berdoa, dan bermeditasi,” katanya.
“Di akhir Ramadhan, saya tidak hanya merasa telah mencapai sesuatu untuk diri saya sendiri, tetapi saya merasa jauh lebih sehat, lebih ringan, dan lebih bahagia di dalam diri saya. Rasanya seperti detoksifikasi yang sangat dibutuhkan,” ujar Mashenge.
Ekspatriat India Anuradha Kamath yang juga seorang pelatih gaya hidup menyebut, seseorang tidak akan pernah bisa memahami sesuatu sepenuhnya kecuali mereka telah mengalaminya. “Saya memulai puasa Ramadhan tujuh tahun lalu. Melihat manfaat besar yang dibawanya, saya memutuskan untuk melakukannya setiap tahun,” kata Kamath.
Menurut Kamath, bulan Ramadhan juga merupakan bulan detoksifikasi total tubuh, pikiran, dan emosinya. Puasa pada bulan Ramadhan tidak hanya membatasi diri dari makan dan minum sepanjang hari, tetapi juga keseluruhan sistem untuk memperhatikan pikiran, perasaan, dan tindakan seseorang.
Kamath mengatakan, Ramadhan adalah bulan ketika seseorang melepaskan diri dari hal-hal negatif. “Ini adalah saat ketika seseorang masuk ke dalam keadaan bahagia dan merasakan banyak welas asih untuk orang lain. Dunia yang mempraktikkan Ramadhan tidak membutuhkan komite perdamaian. Seseorang memperhatikan keharmonisan dan pengertian yang luar biasa di antara orang-orang selama bulan ini,” ujarnya.
Dia berkata bahwa kemauan pribadi yang dilakukan sepanjang hari dari menyerah pada godaan makanan, minuman, sifat buruk, dan perasaan, meningkatkan harga diri seseorang dan segala sesuatu tampak mungkin dan dapat dicapai.
Seseorang juga merasa puas bahwa mereka dapat mengatasi sifat buruk mereka. “Saya menjadikan Ramadhan sebagai titik awal untuk membawa perubahan positif dalam hidup saya dan memulai kebiasaan baik. Saya juga menemukan kekuatan untuk memaafkan dan melupakan sepanjang bulan dan berdoa untuk semua orang di sekitar saya.”
Sumber:
https://gulfnews.com/uae/ramadan/why-these-non-muslims-fast-during-ramadan-1.94770304