REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pelaku industri tekstil mengaku khawatir dengan penyebaran pakaian bekas impor ilegal. Apalagi kini jumlahnya terus bertambah di pasaran.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi) Redma Gita Wirawasta mengatakan, pada 2018 kontribusinya hanya lima sampai 10 persen sehingga tidak terlalu mengganggu industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Namun pada 2022 porsinya mencapai 30 persen.
"Ini mengkhawatirkan, pertumbuhannya semakin besar dari lima ke 10 persen sampai 30 persen. Impor barang bekas naik signifikan sangat mengganggu," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (31/3/2023).
Beberapa tahun lalu, lanjutnya, tempat yang menjual pakaian bekas impor ilegal itu pun sangat terbatas. Waktu operasionalnya hanya di akhir pekan, seperti pasar kaget dan lainnya.
"Sekarang pakaian bekas impor sudah tersebar di berbagai tempat. Juga masih mudah ditemukan di berbagai platform e-commerce," jelas Redma. Apsyfi, sambungnya, menemukan pula fakta adanya perusahaan yang menawarkan jasa layanan impor pakaian secara ilegal di salah satu platform e-commerce.
Dulu, lanjutnya, pakaian bekas impor hanya masuk lewat berbagai pelabuhan tikus. Sekarang produk tersebut sudah memakai kontainer dan dipastikan lewat pelabuhan besar.
Data Apsyfi menyebutkan, impor tekstil tidak tercatat atau ilegal di Indonesia mencapai 320 ribu ton pada 2022. Angka itu naik 12,28 persen dibandingkan 2021 yang sebesar 285 ribu ton.
Jumlah impor tekstil ilegal itu setara 16 ribu kontainer per tahun atau 1.333 kontainer per bulan. Kerugian akibat praktik impor ilegal tersebut menembus Rp 32,48 triliun.
Ia menuturkan, ada beberapa modus impor tekstil ilegal, di antaranya berupa impor unprosedural seperti borongan, under invoice, transhipmen, dan pelarian Harmonized System (HS). Modus importasi tekstil unprosedural ini dilakukan oleh sekitar 60 perusahaan yang dipunyai sekitar delapan orang pengusaha.
Mereka melakukan praktik impor tekstil itu dengan berbagai macam cara, termasuk mengantongi izin impor baik Angka Pengenal Importir untuk Perusahaan (API-P) dan Angka Pengenal Impor untuk Umum (API-U) ratusan juta meter per perusahaan.
Para pelaku importasi tekstil unprosedural ini juga kerap bekerja sama dengan oknum Bea Cukai di lapangan, termasuk dengan oknum pemberi izin impor di Kementerian Perdagangan maupun Kementerian Perindustrian.
Seluruh modus impor produk tekstil ilegal ini dinilai merugikanbpara pelaku industri TPT nasional. Itu karena, pada saat para produsen TPT harus menggelontorkan uang banyak untuk produksi dan distribusi, mereka ujung-ujungnya mesti head to head dengan produk tekstil impor ilegal yang tidak bayar pajak dan tidak ada ongkos produksinya, karena berstatus barang bekas.
Apsyfi merekomendasikan untuk dilakukan penyelidikan menyeluruh atas izin impor yang sudah diberikan dalam 5 tahun terakhir, baik API-P maupun API-U, serta transparansi pemberian izin impor dari Kemendag dan Kemenperin untuk setiap perusahaan. Asosiasi juga meminta dilakukan penyelidikan atas perusahaan yang memfasilitasi impor Borongan dan undername yang selalu masuk jalur hijau, termasuk kaitannya dengan fasilitas kemudahan jalur hijau yang diberikan oleh oknum Bea Cukai dan transparansi penentuan jalur hijau atau merah.
Mereka juga meminta segera dilakukan penangkapan importir pakaian bekas dengan cara tracking dari pedagang offline maupun online. “Kami sebenarnya bukan meminta perlindungan, tetapi fairness di lapangan, karena sulit bersaing kalau produk yang dihadapi tidak kena pajak,” katanya.